9 November 2014

Politik Kuburan

Oleh MUHIDIN M. DAHLAN

Politik Kuburan - Ruang Putih
Tragedi perang saudara di Indonesia paling besar pada abad ke-20 bermula dari kuburan. Penggalian jenazah "tujuh pahlawan revolusi" dari kuburan di Lubang Buaya hingga iring-iringan jenazah para jenderal pada 1965 adalah rundown karnaval muram yang menjadi titik-tanda dimulainya operasi pembantaian masal.

Lubang Buaya dan Kalibata adalah dua kuburan. Tapi, yang pertama menjadi simbol puncak dan sekaligus dalih pembuka adegan demi adegan horor politik. Sedangkan Kalibata adalah kuburan kehormatan bagi mereka yang berjasa bagi nusa dan bangsa.

Lubang Buaya dan Kalibata adalah narasi bagaimana pembelahan politik kuburan dilakukan. Simbol itu dipermainkan sedemikian rupa untuk menunjukkan amaliah sebuah kaum apakah bermoral bejat atau terhormat.

Dari frasa namanya saja, lubang dan buaya, nama itu sudah menjanjikan horor yang menggidikkan. Pastilah, memilih Lubang Buaya untuk mengubur jenazah adalah pilihan politik kotor dari kaum bejat.

Pandangan rabun dekat itu pun diberlakukan secara terbalik: Lubang Buaya dan kuburan-kuburan serupa hanya boleh diperuntukkan kaum bejat (komunis dan orang-orang kiri -progresif) dan bukan untuk sosok-sosok mulia para jenderal.

Karena itu. sepanjang 1965-1966, kuburan-kuburan semacam Lubang Buaya diciptakan di mana-mana untuk operasi penistaan. Tebing, rawa, sungai, jurang, dan bentangan pantai yang sunyi bersulih menjadi kuburan besar tanpa tonggak nisan yang ditaburi ritus doa untuk menghilangkan jejak pergerakan komunis dan kiri progresif di Indonesia.

Pemimpin kaum kiri progresif seperti Soekarno adalah salah satu korban bagaimana mesin politik kuburan itu dijalankan. Soekarno disingkirkan dari kuburan Kalibata bukan semata karena kemauannya dimakamkan di Blitar, tapi juga sebuah upaya menjauhkan aura dan nama besarnya dari Jakarta saat Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan.

Soeharto tahu betul kuburan Kalibata dan kuburan-kuburan pahlawan yang dibuat di setiap kabupaten di Indonesia hanyalah arena politik. Karena itu, kuburan-kuburan pahlawan itu tidak pernah masuk opsinya jika kelak dia wafat. Dia memilih kuburannya sendiri di tempat yang sepi dari ingar bingar politik di Karanganyar, Jawa Tengah; sebagaimana Presiden Gus Dur lebih memilih berkumpul dengan keluarga batihnya di Jombang ketimbang rebah bersama para pahlawan di Kalibata.

Tetapi, berbeda dengan pejuang-pejuang yang berideologi komunis dan kaum progresif lainnya. Kalibata dan taman makam pahlawan yang lain di kabupaten kota adalah simbol pengakuan negara setelah dinista habis-habisan dalam sejarah. Bukan hanya pengakuan bahwa mereka bukanlah si bejat, tetapi juga bagaimana mestinya negara memberikan ruang historis bahwa narasi sejarah Indonesia ini ditenun secara bersama oleh para kaum dan bukan hanya kaum yang menyenangkan hati sebuah rezim.

Karena itu, puncak dari drama penemuan tulang belulang Tan Malaka bukanlah saat penggalian kubur di sebuah lembah yang sunyi di Selopanggung, Semen, Kediri, yang dijaga serdadu pada 2011. Drama itu menunggu klimaksnya saat tulang belulang Tan Malaka berdiam di Kalibata kelak.

Paling tidak, itu memberikan harapan baru dari drama absurditas politik kuburan seperti yang dialami Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Di tengah malam 25 Maret 2011, jenazah Heru yang pernah menerima bintang gerilya ditendang paksa dari TMP Kalibata DKI Jakarta ke TPU Bangil Jawa Timur lantaran sang juru kunci politik kubur lalai mengawasi bahwa Heru terlibat aktif dalam peristiwa kelam Lubang Buaya.

Absurditas politik kuburan semacam itulah yang mengingatkan kita kepada sosok Hatta dalam sebuah siang di bulan April tahun 1966 yang muram di atas kuburan Sutan Sjahrir di Kalibata mengucapkan kalimat:
la berdjoeang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi, sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia jang merdeka. Bukankah itu suatu tragedi!

Tetapi, bukan kalimat itu yang membuat kita tergetar, melainkan kalimat pendek Hatta yang dibisikkan kepada keluarga Sjahrir: Aku tak mau dikubur dengan cara begini di sini.

Bisikan Hatta itu tidak hanya mendefinisikan kuburan untuk pahlawan, tetapi juga bagaimana kuburan menjadi sengketa politik yang absurd. Hatta mengingatkan "perdamaian" di kuburan dari sengketa politik yang keras antara Sjahrir dan Soekarno adalah sebentuk nostalgia menyedihkan. Atau dalam kata-kata Hatta, sebuah tragedi.

Kita menjadi tahu bahwa kuburan bukan hanya merupakan simbol sebuah peziarahan suci yang keramat di mana paling tidak setiap tahun pada Hari Pahlawan kepala negara dan kepala daerah menabur bunga di pusara kuburan, melainkan juga simbol politik di mana negara menilai dan menyeleksi apakah seseorang layak dikenang atau diabaikan.


Kerani @warungarsip; sedang menyusun buku Editorial Harian Rakjat/PKI 1955-1965

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak