9 November 2014

Asbabul Wurud Surabaya Membara

Oleh RIADI NGASIRAN

Sebuah pertunjukan kisah perjuangan kemerdekaan pada 1945; para pemain menyebut Inggris sebagai musuh dan tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby sebagai kemenangan yang gilang-gemilang. Di antara para penonton yang menghadiri perayaan Hari Pahlawan di gedung negara bersejarah itu, ada yang ganjil. Dia berkebangsaan Inggris: bukankah momen perayaan 10 November itu memperingati pertempuran antara para pejuang Indonesia dan pasukan Inggris –sebuah pertempuran paling sengit dan meminta korban seorang panglima Inggris?

Dia duduk di deretan depan di samping para pemuka setempat, antara lain Gubernur Provinsi Jawa Timur Soenandar Prijosoedarmo (1978-1983) dan kepala studio RRI Surabaya. Colin Wild, praktisi radio yang sempat menjadi kepala siaran Indonesia BBC London dan berkebangsaan Inggris itu, bertanya-tanya bagaimana sikap mereka yang duduk di dekatnya sesudah pertunjukan nanti.

Di pelbagai tempat di Indonesia, dia merasa selalu disambut dengan ramah, namun saat itu dibongkar kembali rasa dendam masa lampau. "Apakah pada mereka yang duduk di dekat saya meluap kembali semangat masa lampau? Apakah semangat itu akan ditujukan kepada saya?” Demikian sederet tanya yang menghunjam perasaan Colin Wild.

Tentu saja, dia merasa tidak bertanggung jawab atas peristiwa pada 1945 di Surabaya. Tetapi, dia berpikir betapa mudah patriotisme berubah menjadi chauvinisme, betapa mudah rasa bangga dengan negara sendiri berubah menjadi rasa benci dengan negara lain; betapa mudah rakyat yang terlibat dalam perang filsafat khilaf dan melihat sebagai musuh prajurit berpakaian seragam lain, dan bukannya filsafat yang ditakdirkan harus mereka perangi.

Namun, sebenarnya dia tidak perlu khawatir. Selesai pertunjukan, gubernur dan pemuka yang lain dengan hangat berjabat tangan dengannya. Mereka pun tertawa karena betapa ganjil dua bangsa yang bersahabat sampai bunuh-membunuh. Memang, kita sebenarnya tidak boleh tertawa, gumamnya. Pasukan India di bawah perwira-perwira Inggris yang bertanggung jawab kepada panglima tertinggi yang terkenal bersikap liberal terhadap para pejuang Asia -dan panglima sendiri ditugaskan oleh pemerintah di London yang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada India sungguh ganjil bahwa pasukan India harus bertempur dengan para pejuang Indonesia hanya untuk membela kepentingan kerajaan lain. Itulah yang dia rasakan, betapa menyedihkan. Mereka tertawa hanya untuk menyembunyikan rasa malu dan sebetulnya ingin mengatakan, "Kita tidak bertanggung jawab atas pertumpahan darah itu dan kita menyesalinya. Meskipun terjadi peristiwa itu, kita dapat bersahabat, bahkan lebih akrab lagi, karena ketika tertawa kita sadar bahwa kita menyembunyikan rasa sedih yang sama." Dia pun terharu.

Kesaksian Colin Wild itu terjadi pada 1980, dalam sebuah lawatan ke Indonesia dan sejak tahun itu pula, rupanya, drama kolosal di Surabaya dirintis. Maka, bila pada peringatan 40 tahun Indonesia Merdeka pada 1985, di stasiun radio yang dipancarkan dari London dia pun menghadiahkan sederet kisah dalam Gelora Api Revolusi. Saya teringat kembali pengalaman intim mendengarkan siaran itu sebagai seorang remaja yang gandrung akan sejarah perjuangan bangsa. Seorang remaja tinggal di sebuah desa, dimulaikan sebuah cakrawala "around the world by radio".

Ingatan itu mengaduk-aduk kembali ketika saya meliput peringatan Hari Pahlawan yang dipusatkan di Jembatan Merah Surabaya pada 1993, yang kebetulan dompet saya hilang. Dompet berisi uang gaji pertama saya sebagai seorang jurnalis. Setelah menyaksikan drama kolosal yang disutradarai Anang Hanani itu, bisa jadi lamunan saya teraduk-aduk: adakah nilai kepahlawanan yang keliru? Ya, perasaan teraduk antara semangat kepahlawanan dan korban kriminalitas.

Tidak semua orang tewas dalam pertempuran adalah seorang pahlawan. Ah, mungkin hal itu dikatakan seseorang dengan nada khas Srimulat. Cak Amat ikut perang. Dia ikut pertempur yang berhasil dengan kemenangan.

"Cak Amat seorang pemberani," kata seorang tetangga kepada istri Cak Amat.

"Dia pengecut," kata tetangga yang lain berbisik.

"Cak Amal tekun dan pandai," kata tetangga yang pertama.

"Dia malas dan bodoh," kata yang lain.

Kemudian, muncul seorang prajurit membawa pakaian seragam Cak Amat yang rapi untuk disampaikan kepada istrinya –sekarang janda- karena Cak Amat tewas dalam pertempuran. Janda itu pun meratap. Para tetangga membawa para prajurit tersebut ke samping dan tetangga pertama berbisik, "Sebenarnya dia kebetulan saja terbunuh, dia menghindar terus dari bahaya." Para tetangga memandang kepada janda yang menangis. Yang paling merasa malu tetangga yang selalu mengira Cak Amat pengecut. Mereka sadar, yang menjadi soal tidak selamanya sikap dan tindak kepahlawanan. Apakah Cak Amat bercita-cita tinggi atau berani, sekarang bukan soal lagi. Yang penting bagi istrinya ialah apakah dia hidup atau mati. Yang penting bagi negara ialah filsafat mana yang berlaku. Dua persoalan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya.

Demikianlah drama kolosal Surabaya Membara, yang sejak 2012 diikhtiarkan Meimura dan Taufik Monyong dengan menyebut Teater Semesta, mencoba merelasikan tradisi sebelumnya. Bila drama kolosal tersebut dijadikan tradisi setiap peringatan puncak Perang Rakyat Surabaya, itu mempunyai persambungan dengan peristiwa seni penunjukan serupa yang telah dirintis Sam Abede Pareno pada 1986-1987 dan Anang Hanani pada 1991-1997. Kali terakhir, garapan drama kolosal Anang Hanani itu terasa menggelora seiring dengan semangat arek Surabaya yang kebetulan menjadi wali kota kala itu, Sunarto Sumoprawiro, yang dihadiri pelaku sejarah Roeslan Abdulgani. Cak Roeslan –panggilan akrab arek Plampitan tersebut- adalah pelaku perang rakyat semesta itu sekaligus meninggalkan jejak menawan dengan menuliskan kisah pengalamannya dalam Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia.

Reformasi yang gegap gempita pada 1998, agaknya, telah menghentikan sesuatu yang mentradisi dalam peringatan Hari Pahlawan. Bila kini dipergelarkan kembali drama kolosal Surabaya Membara, tentu akan menghadirkan ingatan kolektif kita sebagai sebuah bangsa, yang senantiasa mengedepankan harga diri dan identitas sejatinya. Ingatan kolektif itu tidak bisa dilepaskan dengan asbabul wurud (latar belakang peristiwa) bergeloranya semangat pemuda arek-arek Surabaya lewat Radio Pemberontak.

Sebuah radio yang dimanfaatkan secara optimal oleh Bung Tomo, yang senantiasa mengakhiri pidatonya dengan teriakan takbir tiga kali. Ketika kekuatan perlengkapan perang Jepang ambruk, sistem propaganda pun ikut terbengkalai. Republik merebut aparat media, terutama studio-studio dan pemancar-pemancar radio. Ketika itu, saya teringat kembali Colin Wild, melukiskan bagaimana radio menjadi suatu alat yang penting sekali untuk mengendalikan unsur-unsur yang terpecah belah dari revolusi dan mengusahakan agar dunia luar tetap mendapat informasi dan bersimpati terhadap republik.

Asbabul wurud Surabaya Membara mempunyai relasi historis dengan peristiwa berkumpulnya para kiai dan ulama, sebanyak 200 wakil konsul (daerah) Nahdlatul Ulama di Kantor Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Oelama di Jalan Bubutan Gang VI No 2 Surabaya pada 21-22 Oktober 1945 dipimpin langsung oleh Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari, raisul akbar Nahdlatul Oelama.

Dari gedung yang kini berstatus sebagai cagar budaya itu, lahirlah Resolusi Jihad fii Sabilillah, bertanggal 22 Oktober 2014 guna mengingatkan kepada pemerintah republik "supaya menentukan suatu sikap dan tindakan nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama serta negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya". Ketika itu, sikap pemerintah pusat dirasa kurang tegas, bahkan cenderung melemahkan semangat khas arek-arek Surabaya. Itu terbukti dengan kehadiran Bung Karno di Surabaya yang tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah.

Teriakan "Allahuakbar...!" penuh stamina dan "Merdeka!" dari Bung Tomo mempunyai relasi dengan Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama, yang mewajibkan setiap umat Islam maju perang. Bukankah sulit diterima akal, Bung Tomo yang bukan santri menggelorakan emosi keislaman untuk berjihad bila tanpa kesadaran yang telah dinasihatkan seorang alim ulama. Di lokasi yang telah dirintis bagi berkecambahnya spirit hubbul wathon minat iiman (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman) itu, kini menjadi Monumen Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.

Akhirnya, drama kolosal tentang perang itu dipergelarkan kembali. Pada malam 10 November 2014, Teater Semesta disutradarai Meimura menghadirkan episode Laskar Wanita di arena Tugu Pahlawan. Laskar itu mengingatkan saya akan sosok pemudi Moersia (yang kemudian dikenal Ny Moersia Zaafril Ilyas, kini tinggal di Malang), perempuan asal Madura yang berperan aktif di tengah suasana berkecamuk itu. Juga sosok Lukitaningsih Irsan Radjamin, yang pernah disekap kempetai (polisi militer Jepang) setelah dibawa ke markas (bekas Raad van Justitie) -sekarang berdiri tegak Tugu Pahlawan, karena gedung kempetai hancur akibat pertempuran.

Saya tidak tahu apakah komunitas Surabaya Juang dengan pergelaran teatrikal yang dimotori Heri Lentho Prasetyo pada setiap Hari Pahlawan sejak 2009 itu telah menggoda Teater Semesta untuk berperan membangkitkan ingatan kolektif masyarakat kita itu. Yang jelas, Heri Lentho dengan komunitas Surabaya Juang tetap mempergelarkan pertunjukan teatrikalnya. Pada 9 November, pukul 14.00, bertempat di depan Tugu Pahlawan, Surabaya Juang mengetengahkan tema Radio Pemberontak oleh Komunitas Rooderbrug.

"Resaplah hati Wahai Tanah Air, Cintamu dalam Imanku. Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah hai Bangsaku. Indonesia negeriku, engkau panji martabatku Siapa datang mengancammu, ‘kan binasa di bawah dulimu."

Dengan larik-larik terjemahan nadham Kiai Abdulwahab Chasbullah -yang tahun ini dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional- "Ya Ahlal Wathon" ini (dilantunkan para santri di Surabaya pada 1934), diakhirilah pembicaraan di sini.

Surabaya Membara, Surabaya Juang, keduanya tentu tidak saling serang. Keduanya berikhtiar mengambil semangat api perjuangan yang ditanamkan pemuda-pemuda di Surabaya.


*) Penulis adalah peminat masalah kebudayaan dan sejarah, ketua Lesbumi PC NU Kota Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak