Oleh FANNY CHOTIMAH
SENYAP, film dokumenter terbaru karya Joshua Oppenheimer, pada 10 Desember lalu, bertepatan Hari HAM, diputar serentak di beberapa kota di Indonesia. Bertajuk Indonesia Menonton Senyap, saya menonton film garapan sutradara Amerika Serikat itu di sebuah perguruan tinggi negeri di Solo. Film berdurasi 98 menit tersebut cukup intens menggambarkan perjalanan Adi Rukun, adik korban pembantaian 1965 yang bernama Ramli, untuk menemui para pembunuh sekaligus mencari tahu kebenaran yang terjadi.
Dalam film Joshua Oppenheimer sebelumnya, Jagal (2013), kita diajak menyelami peristiwa 1965 dari rekonstruksi para pelaku pembantaian. Sedangkan dalam film Senyap, cerita diambil dari keluarga penyintas di sebuah daerah di Sumatera Utara, yakni keluarga Adi Rukun. Pendekatan yang diambil sutradara pun berbeda. Dalam film Jagal, para pembunuh membuat proyek film fiksi tentang peristiwa 1965, lalu Joshua merekam semua proses itu. Sedangkan dalam Senyap, Adi Rukun sebagai tokoh subjek aktif mengunjungi para pelaku dan melakukan wawancara, melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada pelaku pembunuhan, lalu mengaku sebagai adik salah satu korban.
Profesi Adi Rukun sebagai tukang kacamata keliling dijadikan semacam kedok untuk mendekati para pelaku. Inong, salah seorang pelaku pembunuhan, menjadi tersinggung dan emosional karena Adi Rukun mengorek peristiwa 1965 yang dianggapnya terlalu dalam. Apakah ada rasa bersalah dalam diri para pelaku? Atau, tahukah Anda apakah PKI itu? Apakah membunuh itu benar?
Pertanyaan-pertanyaan itu dianggap politis dan tidak perlu kembali diungkit. Respons dari hampir semua pelaku sangat defensif, seolah-olah mereka berusaha meyakinkan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan yang benar. Bahwa mereka merupakan pahlawan yang ikut memberantas komunisme di Indonesia.
Terkadang gestur tubuh para pelaku ataupun Adi Rukun terlihat sangat canggung saat kedua pihak bertemu. Tentu pertemuan itu bukanlah hal yang mudah. Begitu pula topik pembicaraannya, merupakan hal sensitif yang secara generasi ke generasi ditutupi kebenarannya.
Digambarkan bagaimana anak lelaki Adi Rukun yang duduk di bangku SMP mendapat penjelasan dari gurunya bahwa komunis itu tidak beragama, tidak berTuhan, dan kejam. Padahal, perilaku para pembantai komunis lebih kejam. Bahkan, setelah mengeksekusi korban, mereka tidak lupa meminum darah para korban supaya tidak menjadi gila.
Adi Rukun lahir dua tahun setelah kematian Ramli, kakaknya. "Kalau kamu tak lahir, aku bisa gila," begitu ucap Mamak, ibu Adi.
Mamak merupakan sosok perempuan tua, berambut putih, punya lipatan-lipatan keriput di wajahnya, seolah-olah penanda waktu akan tahun-tahun berlalu menyimpan kepedihan rasa kehilangan anak lelakinya yang dia yakini pemuda baik-baik, tak bersalah.
Mamak becerita bagaimana detik-detik terakhir sebelum kehilangan nyawanya, Ramli yang disiksa dengan perut yang koyak dan bersimbah darah pulang dan minta dibuatkan kopi. Sebelum air untuk kopi itu mendidih, para pelaku pembantaian itu datang.
Mereka berdalih akan membawa Ramli ke rumah sakit. Mamak meminta agar bisa ikut serta, tapi ditolak. Begitu pula tawaran ayah Ramli yang menawarkan dua ekor lembu sebagai penebus nyawa anaknya, juga ditolak.
Sebagai perempuan dan seorang ibu, saya tak kuasa jika harus berada di posisi Mamak. Perempuan yang menyaksikan kekerasan terhadap anak lelakinya, mengetahui siapa pembunuh anaknya, dan harus hidup berdekatan. Dia menyimpan semua kepedihan itu dalam diam.
Mamak, perempuan tua itu, terkejut saat Adi Rukun bercerita bahwa dia menemui para pelaku pembunuh kakaknya. Adi juga bercerita bahwa pamannya, adik Mamak, menjadi penjaga penjara para tahanan yang dicap PKI. Pamannya mengetahui bahwa keponakannya, Ramli, ada di penjara itu. Namun tak berani berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya.
Si paman tetap bersikukuh bahwa dirinya tidak terlibat dan bukan pembunuh. Dia hanya penjaga tahanan. Informasi itu merupakan kebenaran baru yang Mamak terima. Selama ini, Mamak belum pernah mendengar cerita tersebut dari adiknya.
Apakah itu seperti yang dikatakan filsuf Hannah Arendt dalam bukunya, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), sebagai sebuah banalitas kejahatan. Seseorang tidak perlu berpikiran jahat untuk bisa melakukan kejahatan brutal. Cukup keluguan menaati perintah dan tidak berpikiran kritis akan akibat dari tindakan yang kita lakukan, sudah bisa membuat orang "normal" sanggup melakukan sebuah kejahatan.
Miskinnya imajinasi membuat seseorang tidak bisa memosisikan dirinya sebagai orang lain. Pelaku tidak pernah membayangkan dirinya sebagai korban yang harus kehilangan nyawa, kesakitan saat disiksa. Mereka tidak bisa memosisikan bagaimana perasaan keluarga korban, bagaimana rasa sedih kehilangan anak yang mati dibunuh dengan keji. Maka, rasa bersalah itu tidak akan hadir.
Dalam sebuah pertemuan, istri Amin, salah seorang pelaku pembunuhan, berinisiatif meminta maaf kepada Adi Rukun atas tindakan yang dilakukan suaminya. Hal yang sama dilakukan seorang perempuan muda anak dari pelaku pembunuhan. Perempuan-perempuan Itu tidak perlu sekolah filsafat untuk memahami kata-kata Hannah Arendt bahwa forgiveness is the key to freedom. Bahwa meminta maaf juga merupakan kunci untuk meraih kemerdekaan.
Sejarah kelam perlu diungkit, luka harus disembuhkan, trauma harus dibicarakan, dicari akar persoalannya. Kelak kita bisa berkaca bahwa atas nama kemanusiaan, tidak ada pembenaran atas segala tindak pembunuhan. Memaafkan itu perlu, namun tidak untuk melupakan. (*)
FANNY CHOTIMAH, Kurator Festival Film Solo (FFS) dan bergiat di Komunitas Perempuan Solo "Jejer Wadon"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak