Oleh WAHYUDIN
Pada penengahan November 2014, ada yang begini mengesankan di Negeri Panser, sesuatu yang menghangatkan ruang batin penikmat, pengamat, dan penghayat seni rupa di Berlin yang dingin, yaitu Berlin Open Studio (BOS).
BOS adalah sebuah proyek seni rupa yang dikelola bersama oleh perupa, pemikir seni rupa, dan pencinta seni rupa yang tinggal serta berkarya di ibu kota Jerman itu. Selama sepuluh hari (13-23/11), tanpa perlu janjian atau pemberitahuan terlebih dahulu, BOS mempersilakan khalayak luas untuk bertandang ke tujuh studio perupa di Distrik Schoneberg, Neukolln, Friedrichshain, Friedenau, dan Kreuzberg. Di sana, setiap pengunjung adalah tamu istimewa dan unik yang akan disuguhi makanan serta pemikiran. Di sana, tamu-tamu itu bebas-lepas untuk tidak hanya mengapresiasi sedalam-dalamnya aneka macam karya 21 perupa dari Berlin dan Jogjakarta, tapi juga mengamati dari dekat realitas perupa dan segala hal yang berkenaan dengan proses kreatif mereka.
THE TIGER: Seni rupa karya Abdi Setiawan yang dipamerkan dalam Berlin Open Studio di Berlin, Jerman, pertengahan November 2014. |
Itulah keramahtamahan lain di sebuah kota besar yang tak terbiasa dengan sesuatu yang tak terduga-duga tapi menakjubkan. Bisa dimengerti, terutama jika kita ingat bahwa sejatinya studio seni rupa merupakan arena produksi karya seni rupa dan/atau ruang kontemplasi khusyuk seni rupawan yang tak sembarang orang bisa masuk. Dengan begitu, BOS bukan hanya telah mengiris kesejatian itu guna tranformasi sosial studio seni rupa di salah satu ibu kota seni rupa internasional, tapi juga menghamparkan jembatan kesempatan yang memungkinkan terjalinnya relasi kemanusiaan yang intim di antara perupa tuan rumah dengan pemirsa-tamu di studio seni rupa.
Atas keramahtamahan itu, BOS berkehendak mencairkan antagonisme di antara individualitas perupa dalam praktik studio seni rupa dan kolektivitas pemirsa dalam pergaulan sosial-budaya. Dalam hal itu, BOS menjelma sebagai semacam ikhtiar kreatif yang belum-sudah untuk merayakan keserbaragaman yang luar biasa atau kebersamaan nan istimewa di dunia seni rupa kontemporer yang cenderung bertopang pada pragmatisme untung-rugi hari-hari ini.
Ternyata keramahtamahan BOS itu terinspirasi dari Yogyakarta Open Studio (YOS) yang diprakarsai Antena Projects pada pengujung 2013. Itu sebabnya bisa dipahami jika ada karya-karya perupa Jogjakarta seperti Abdi Setiawan, Desrat Fianda, Entang Wiharso, Heri Dono, Jumaldi Alfi, dan Taufik Ermas yang turut digelar di BOS. Dengan begitu, Berlin dan Jogjakarta pun saling bertaut dalam jejaring praktik studio seni rupa di ranah internasional.
Berlangsung sejak 11November 2013 sampai 10 Januari 2014 dengan menggandeng lima studio seni rupa penting di Jogjakarta, yaitu Black Goat Studios, OFCA International, PartNER, Studio Handiwirman Saputra, dan Studio Yunizar, YOS menandai sesuatu yang biasa tapi tak terduga-duga. Alih-alih, YOS, yang menggelar aneka jenis karya 18 perupa dari Jogjakarta, Bali, Berlin, Tokyo, dan Paris, mengesankan di mata penghayat seni rupa Indonesia sebagai sebuah kesempatan langka untuk masuk-menemu "kebenaran" akan daya cipta seni rupawan: bagaimana mereka berkarya, bagaimana mereka berlaku, dan siapa mereka.
Harus diakui, "kebenaran" itu tak sepenuhnya dapat terkuak selama dua bulan pergelaran YOS. Pengalaman membuktikan, tak di setiap kesempatan bertandang ke lima studio tersebut saya dapat bersua "kebenaran" itu. Bahkan untuk sekadar bertemu muka dengan perupa pemiliknya. Kebanyakan yang tersua adalah sejumlah karya yang tampil senyap di ruang pergelaran yang sunyi.
Tapi, ada sebuah jeda yang menarik untuk diutarakan di sini. Yaitu, proyek seni rupa bertajuk Peristiwa Sebuah Kelas di Sangkring Art Space (SAS), Jogjakarta, 9 Desember 2013-6 Januari 2014. Pengusungnya adalah Forum Ceblang Ceblung (FCC). Perlu diketahui, FCC adalah sebuah jaringan daya cipta berbasis studio seni rupa. Di sana, puluhan perupa utama Indonesia, antara lain Abdi Setiawan, Ade Darmawan, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, M. Irfan, Nasirun. S. Teddy D., dan Wimo Ambala Bayang, menyintas dengan mengusung imajinasi yang tak tepermanai, kecerdasan yang kadangkala konyol, dan strategi ekonomi yang piawai.
Selama satu bulan itu, FCC menyulap SAS menjadi studio seni rupa yang memberikan privilege kepada pemirsa untuk masuk-menemu kenyataan, bahkan "kebenaran" tentang proses kreatif seni rupawan. Selain itu, di setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, pengunjung dilibatkan dalam perbincangan yang intens dan intim untuk mencari jawaban atas pertanyaan mahaberat: Apa itu karya seni rupa yang baik?
Tak berhenti di situ, FCC melampauinya dengan proyek lain berjudul Memajang Boleh Saja, Asal Ada Artinya yang berlangsung di Balai Keseharian dan Pemajangan (BKdP) pada 6-20 Juni 2014. Apa yang berlangsung di Studio Handiwirman Saputra itu adalah “pawai topeng” yang memikat pembutuh dan pengoleksi karya seni rupa, tapi membikin cemburu penjaja karya seni rupa serta pengelola galeri seni rupa. Tentu saja, sepanjang dua pekan itu, seraya membonceng gratis kemeriahan pasar seni rupa ArtJog 2014, BKdP menjelma arena konsumsi karya seni rupa. Di sini, FCC berpameran tidak hanya untuk memperlihatkan nilai artistik karya seni rupa, tapi juga mengejar nilai komersialnya. Alih-alih, mereka berdagang karya seni rupa dengan, utamanya, sistem transaksi langsung dan pembayaran tunai.
Konsekuensinya, mereka perlu berlaku serupa penjaja karya seni rupa atau pengelola galeri seni rupa yang mesti piawai berpromosi dan bernegosiasi dengan pembutuh karya seni rupa, bahkan pemangku kepentingan di dunia seni rupa, dari dalam dan luar negeri. Mereka memperlihatkan itu secara meyakinkan dalam acara “ramah tamah” penuh gelak tawa, kudapan, dan santapan makan siang di Sarang Building, ruang seni milik Jumaldi Alfi yang berjarak hanya sepelemparan batu dari BKdP, pada 7 Juni2014.
Pengamat seni rupa yang peka, kalau tak terperangah, tentu akan geleng-geleng menyaksikan kenyataan itu. Pasalnya, kenyataan itu betul-betul telah mengiris hakikat studio seni rupa sebagai tempat terbaik memahami karya perupa yang tak sembarang orang bisa datang menjadi podium perundingan ekonomi.
Bagaimanapun, bagi saya, jeda itu, selain menarik, bermanfaat sebagai kenyataan lain untuk memahami perhelatan YOS #2 yang berlangsung pada 29 November-22 Desember 2014. Dengan melibatkan sembilan studio seni rupa di Jogjakarta dan 40-an perupa dari kawasan Asia dan Eropa, dua kali lebih banyak daripada YOS #1, masuk akal jika YOS #2 berambisi menggelar peta pergaulan internasional lewat praktik studio seni rupa.
Kenyataannya, meskipun masih ada satu-dua perkara yang jauh panggang dari api sebagaimana terdapat dalam YOS #1, YOS #2 mampu memperlihatkan dengan baik bahwa studio seni rupa bukan hanya panggung pertunjukan daya cipta perupa atau podium perundingan bisnis dengan pembutuh, penjaja, dan pengoleksi karya seni rupa, tapi juga situs penting jejaring internasional yang memungkinkan perupa membangun daya cipta serta menyebarkan inspirasi dari dan ke pelbagai kota dan negara. (*)
Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak