Oleh SUJIWO TEJO
Persamaan harga dan pejabat itu begini. Pejabat kalau sudah duduk, konon, lupa berdiri. Harga kalau sudah naik, kabarnya, juga susah buat turun lagi. Akibat kenaikan harga BBM, ya, kita tahu sendirilah. Rok mungkin tak naik jadi rok mini, tapi hampir seluruh barang dan jasa harganya jadi pada naik-naik ke Gunung Arjuno.
"Mungkin karena barang dan jasa itu berbeda dibanding tupai, Kang Gareng," ponokawan Petruk menyahut asal njeplak. Tujuannya sekadar mengisi kosongnya perbincangan pagi hari di pecel kaki lima, di antara sampah kertas-kertas mercon tahun baru.
“Wah, ini menarik. Anyar. Aku baru denger. Coba jelaskan perbedaannya, Truk."
Tentu saja pono kawan jangkung itu jadi bingung sendiri. Wong tadi dia ngomongnya asal mangap. Ia toleh Bagong. Sepertinya ingin agar bungsu ponokawan itu ikut nimbrung membantunya. Eh, Bagong malah asyik memilih-milih kembang turi di antara sayur pecel kaki lima.
"Kembang turi ini ternyata lebih lezat kalau nyari-nya susah. Tersembunyi di sela-sela daun bayam dan kacang panjang... Kita harus super telaten," gerundel Bagong. Mata dan tangannya terus menelesik kembang turi di sela-sela teri, nasi putih dan rempeyek.
"Ya. Semua kalau makin gampang nyari-nya memang makin ndak enak. Makin hambar. Bener nggak, Gong? Pertanyaan "mengapa barang dan jasa tak seperti bajing", begitu juga. Makin susah njawab-nya, makin menantang. Iya, kan, Gong?"
"Wah, embuh, Truk. Aku ra urus," Bagong tak terpancing oleh Petruk. Ia tetap khusyuk memilah-milah irisan wortel dan kecambah untuk menemu tirisan kembang turi. Ia malah berseru kegirangan ketika mendapati kembang turi di antara serpihan kertas-kertas mercon yang kabur hinggap dan menambah warna-warni di nasi pecelnya.
"Aku tahu jawabannya," Yukinem berseru sambil melonjak. Si bakul pecel yang kabarnya ada hubungan khusus dengan Petruk itu melanjutkan, "Barang dan jasa itu kalau harganya sudah naik susah turun lagi. Nah, tupai lain. Sepandai-pandai tupai melompat naik, akhirnya masih mungkin jatuh ke tanah jua. Iya, kan, Mas Gareng? Heuheuheu..."
***
Seperti biasanya, Gareng senang berpikir-pikir. Pagi itu, di antara serakan sampah kembang api tahun baru dan puja-puji terhadap Basarnas dan seluruh tim terpadunya atas keberhasilan mereka menemukan pesawat Air Asia di Selat Karimata, Gareng terus berpikir.
Jangan-jangan, pikirnya, yang susah turun bukan harga tetapi kebutuhan manusia. Sekali kebutuhan kaum buruh untuk berparfum dipenuhi, maka di masa yang akan dating akan susah memohon kaum buruh untuk bekerja tanpa parfum.
Sekali kebutuhan mahasiswa untuk selalu punya pulsa dipenuhi, maka di masa mendatang para ortu akan susah membiarkan anak-anak mahasiswanya puasa pulsa walau Cuma sehari dua hari.
Sekali Bagong butuh nasih pecel yang kembang turinya baru bisa ketemu setelah mengais-ngais seluruh sayurnya, susah buat Bagong menurunkan kebutuhan itu. Pecel yang kembang turinya terang benderang, jadi tak menantang lagi.
Begitu juga dengan Raden Arjuna. Kebutuhan Ksatria Madukara ini adalah bertanding dengan Adipati Karna secara ksatria. Bertanding secara ksatria itu telah lama ditanamkan pada Arjuna oleh Durna, gurunya, maupun oleh para leluhurnya termasuk Begawan Abiyasa di Saptaarga.
Maka, di hari ke-17 Bharatayuda Jayabinangun, ketika Adipati Karna sedang mengangkat kereta perangnya yang terperosok lumpur, Arjuna tak tega melepas pusaka andalannya, Pasupati. Padahal, menurut ukuran awam, ituIah kesempatan emas. Musuh sedang kehilangan konsentrasi. Prabu Salya, kusirnya, sudah angkat tangan. Karna sedang sibuk sendiri mengungkit-ungkit roda keretanya dari lumpur.
"Ini memang kesempatan emas. Bisa saja saat ini aku pesatkan pusaka anugerah Batara Guru, panah Pasupati yang matanya berwujud bulan sabit," batin Arjuna. "Tapi ini bukanlah cara ksatria. Ini bukanlah cara Arjuna..."
Hmmmm...
***
Gareng masih terus berpikir-pikir. Pikirnya, di Tahun Kambing Kayu nanti, tahun ketika manusia mestinya saling bermurah-hati dan peduli satu sama lain, apakah kebutuhan manusia masih tak bisa diturunkan?
Ingat, selain oleh nasi pecel kaki lima, sekali lidah cocok oleh bakso di Pasar Klewer Solo dan membutuhkan itu, maka pecel-pecel lain dan bakso-bakso lain terasa hambar. Bisa dimengerti kenapa Petruk sangat ketulo-tulo mendengar Pasar Klewer terbakar. Pupus sudah harapannya untukbisa menyantap “Bakso Keringet” di dalam Pasar Klewer setiap ia bertandang ke Kota Solo.
Bisa dimengerti kenapa Petruk agak terhibur ketika belakangan mendengar bahwa "Bakso Keringet" tak termasuk kawasan yang kobong. Tapi Petruk tetap cemas, jangan-jangan pada renovasi seluruh kawasan Pasar Klewer nanti bakso kesayangannya itu sudah tak buka lagi.
Siapa yang bakal memenuhi kebutuhan Petruk akan "Bakso Keringet” yang disebut demikian karena berjejalnya orang-orang makan bakso di situ sampai keringetan semua?
***
Tak banyak orang yang bisa menurunkan kebutuhan. Mungkin yang bisa kayak gitu hanya Leksmana Mandrakumara, anak kesayangan Prabu Duryudana. Dia punya kebutuhan yang tinggi untuk dapat mengenyahkan Abimanyu. Anak Arjuna ini memang kerap mempermalukan putra mahkota Kerajaan Hastina itu.
Salah satunya ketika ia naksir Dewi Siti Sundari, eh ternyata malah Abimanyu yang dapat menikahinya. Ketika Leskmana Mandrakumara menginginkan Wahyu Cakraningrat, wahyu yang bisa membuat anak turunan kita mengusai Nusantara, malah Abimanyu-lah yang akhirnya dapat kadunungan wahyu tersebut.
Sekarang lihatlah! Di hari ke-13 perang Bharata di Kuru Setra, Abimanyu dikeroyok oleh Kurawa. Anak-anak panah dan senjata-senjata lain menancap ditubuhnya hingga bagaikan landak. Saat itulah Leksmana Mandrakumara datang. Harusnya ia tak mengakhiri nyawa Abimanyu pada saat seperti itu. Hatinya sendiri bersuara, "Kebutuhanku adalah bertanding dengan Abimanyu secara ksatria, bukan secara licik menggunakan aji mumpang-mumpung."
Tapi, Gareng berpikir, entah karena apa saat itu Leksmana Mandrakumara bersedia menurunkan derajat kebutuhannya. Turun dari "bertanding ala ksatria" menjadi "bertanding secara apa pun yang penting menang."
Leksmana mencabut goloknya. Ia tancapkan golok tersebut pada raga Abimanyu yang sudah tak berdaya ditancapi ribuan panah dan senjata ibarat landak.
SUJIWO TEJO tinggal di www.sujiwotejo.com / www.sudjiwotedjo.com / twitter @sudjiwotedjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak