30 Agustus 2015

Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue

Oleh. M. SHOIM ANWAR -

Cerpen Jawa Pos: Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue
IRAMA salsa terdengar mengiringi rancak kaki para pedansa. Lantai porselin warna susu tampak kemilau hingga seperti tanpa permukaan.

Kaki-kaki itu menembus batas. Telapaknya saling menyanggah antara yang di atas dan yang di bawah. Mereka memainkan langkah ke berbagai arah. Dan saat kaki itu terangkat nampak ada ruang kosong di antaranya. Gerakan pun memutar dengan cepat membentuk alemana yang enak ditonton. Pantulan itu terlihat agak mengabur, tapi indah dilihat karena membentuk siluet yang makin ke dalam makin meremang. Meski musik mengalun, langkah sepatu masih terdengar bersamaan dengan kaki-kaki itu beradu. Kadang lembut, kadang keras, sesuai dengan tempo yang dimainkan oleh mereka.

Irama itu memang bertempo cepat, dinamis, ceria, dan terkesan patah-patah. Ada empat pasang yang terlihat melantai di dance floor. Sementara yang lain duduk-duduk menunggu polonaise berikutnya. Saya sudah pernah melihat muka-muka mereka, tapi tidak semua nama saya akrabi. Perkenala dengan mereka yang lain boleh dikata kenal-kenal anjing, artinya hanya sekadar menyapa basa-basi. Mereka bilang “halo” dan saya pun membalasnya dengan “halo” pula. Inilah salah satu tempat para pedansa berkumpul.

Saya menyisir pandang ke ruang di depan resepsionis. Di sana ada Siane, Bu Reni, Dori, dan Beni. Di arena tampak pasangan Devira dan Deny begitu bersemangat. Barangkali saja itu dansa terakhir karena Devira pernah cerita kalau Deny mau pindah tugas ke Jakarta. Arianto, pasangan Devira yang dulu, melihatnya dari sofa bersama sang istri.

Saya amati kembali empat pasang pedansa sambil bersandar di pilar. Ternyata salah satunya adalah orang yang saya cari. Dia adalah Bami. Lelaki itu kelihatan semakin tambum malam ini. Dia sudah nampak kelelahan mengikuti irama salsa. Gerakan-gerakannya mulai kedodoran. Tengkuknya tetap maju-mundur seperti dulu sehingga tidak nyaman dionton. Tengkuk yang tambah menonkol membuat dia seperti sapi berpunuk. Sementara perempuan pasangannya tampak jauh lebih muda. Ini pasti gacoan baru sang hakim itu sehingga dengan bangga dipertontonkan sebagai partner barunya. Apa saja mungkin bagi Bambi.

Mungkin perempuan muda pasangan Bambi itu masih baru di dunia dansa. Gerakan-gerakannya masih tampak kaku, kakinya sering kesrimpet dan mati langkah. Bambi yang berusaha mengendalikan pun jadi tidak leluasa karena di sendiri kepayahan membawa perutnya yang gendut. Tak ada yang menarik untuk diperhatikan pada diri Bambi. Dia masih saja suka pakai kemeja dengan kancing bagian atas terbuka dua buah. Sementara perempuannya mengenakan gaun terusan warna hitam dengan dada terbuka plus selendang baby blue.

Ketika sesi salsa berakhir, Bambi beranjak minggir dan duduk di sofa. Saya segera mendekatinya. Ini kesempatan terbaik. Bambi nampak agak terkejut melihat saya.

“Hai…,” kata perempuan muda yang tadi diajak Bambi berdansa.

“Hai,” saya membalas.

“Kenalkan,” Bambi menunjuk ke perempuan itu.

“Miske,” perempuan itu mengulurkan tangan, sementara tangan kiri menyibakkan rambut panjangnya yang menjurai ke pipi.

“Anik,” saya juga memperkenalkan diri.

Mereka membenahi duduknya dan bergeser. Saya ikut duduk.

“Kok cepat turunnya?” saya memulai lagi.

“Nggak kuat kalau terus salsa,” Bambi menepuk-nepuk perutnya.

“Niati saja olahraga,” komentar saya sinis.

“Terlalu berat membawa badannya,” kata Miske.

“Gemuk lambang kemakmuran,” saya menimpali, makin sinis.

“Kalau saya ini sudah obesitas.”

“Ikut program liposuction saja. Kan uangnya banyak,” saya menyindir lagi.

“Apa itu?” Bambi mendongak.

“Sedot lemak. Kayak gak tahu aja,” saya agak melengos.

“Dia juga bisa nyedot,” Bambi menunjuk ke Miske. Perempuan itu tertawa sambil mencubit lengan Bambi. Bambi segera merangkulkan lengan kirinya ke pundak Miske.

“Kalau dia kan nyedotnya bagian tertentu saja.” saya ikut menimpali.

Miske yang berkulit putih bersih itu tersenyum. Ada behel berhias permata di sepanjang gigi atasnya, semacam pagar untuk menekan agar posisi gigi tidak tonggos ke depan. Keberadaannya amat kontras dengan Bambi yang berkulit cenderung gelap plus muka agak bopeng-bopeng. Beberapa saat kami lantas terdiam. Bambi mengusap lehernya dengan sapu tangan warna cokelat. Napasnya terdengar mendengus karena kepayahan. Perempuan itu bibirnya masih menahan senyum sambil melihat Bambi.

Tak heranlah saya kalau perempuan muda itu lengket di pelukan Bambi. Sudah bukan rahasia lagi kalau perempuan muda belia yang suka keluar malam menjalin hubungan dengan lelaki berumur. Bagi sang perempuan, umur dan kegendutan Bambi mungkin tak masalah. Yang penting uang dan kesenangan dapat diperoleh dengan mudah. Kesadaran utuh mungkin telah ada pada diri perempuan itu bahwa Bambi memang harus diperas hartanya dan digunakan perempuan itu untuk mempercantik penampilan guna bersenang-senang dengan para lelaki lain yang lebih muda.

Perempuan muda itu mungkin tidak hanya minta behel, selendang baju, kaus, celana, tas, sandal, sepatu, perhiasan, telepon seluler, benda-benda kesukaannya, makan-makan, tapi juga pelesiran ke tempat-tempat yang jauh dengan naik pesawat dan tidur di hotel berbintang. Dengan bermain dua muka, mungkin juga lebih, perempuan muda itu ingin mempertunjukkan penampilan glamornya di hadapan teman-temannya pula.

Udah lama pasangan dengan Pak Bambi?” saya berbasa-basi dengan Miske.

“Belum.”

Udah kerja apa masih kuliah?”

“Kuliah,” jawab Miske pendek.

“Jurusan apa?”

“Akuntansi.”

“Wah, ngitung duit terus ya?”

“Cuma angka-angka.”

“Gak nyambi kerja?”

Nggak,” Miske menggeleng.

Masih kuliah dan belum kerja. Setelah semua keinginannya terpenuhi, saya percaya perempuan muda itu akan mencari seribu alasan ketika diajak Bambi keluar. Saat itulah Bambi akan sadar kebusukan perempuan muda itu. Atau, bisa jadi, Bambi sendiri sudah paham apa yang akan terjadi kelak karena Bambi juga sadar bahwa dirinya adala lelaki busuk. Bambi mungkin menganggapnya sebagai hubungan transaksional seperti halnya membeli gula-gula di warung: dikuliti, disesap, lalu dibuang plastiknya sebagai benda yang tak berguna.

Bambi mungkin juga tak menganggap berarti terhadap harta benda yang dikeluarkan. Dia juga tahu mengajak ngobrol perempuan nakal di klubmalam pun harus membayar mahal, apalagi mengajaknya kencan. Mungkin Bambi malah menganggap harga perempuan muda yang diajaknya itu jauh lebih murah dibanding harga perempuan nakal yang diajaknya berkencan semalam.

Saya masih mencari kesempatan untuk bisa berbicara dengan Bambi. Rasanya sudah tidak sabar. Pikiran-pikiran buruk makin kuat dalam diri saya. Lewat telepon terlalu tidak memadai. Beruntung Bambi beranjak dari duduknya untuk pamit ke toilet. Saya biarkan dulu bebrapa saat agar dia usai. Lalu saya menyusulnya. Saya cegat dia di mulut toilet laki-laki. Nah itu dia keluar. Beberapa saat dia berhenti membenahi kancing celananya. Tampak ada yang basah di sekitar resluiting.

“Aku ingin bicara,” kata saya di mulut toilet.

“Bicara apa?” Bambi mengarahkan pandangan ke muka saya.

“Putusanmu. Mengapa aku kau kalahkan?”

“Aku sudah mengusahakan agar kau yang menang di pengadilan, tapi tak ada dissenting opinion.”

“Bagaimana ada, wong hakim tunggal, cuma kamu saja!”

“Sudah saya mintakan pendapat di luar sidang.”

“Yang mimpin sidang kan kamu. Dengan hakim tunggal mestinya kau bisa putuskan sesuai janjimu!”
Bambi tampak sangat tidak nyaman. Wajahnya memerah, dia lihat ke segala arah. Sengaja saya menghadang langkahnya agar tidak menghindar. Saya pun sengaja mengeraskan suara agar didengar banyak orang.

“Pengacara tergugat pintar. Dia bisa menggugurkan tuntutan jaksa.”

“Tapi mengapa dulu kamu mendorong-dorong aku agar menggugat perkara itu. Kamu panas-panasi aku. kamu menjanjikan akan memenangkan aku. Terus untuk apa kamu minta uang segitu banyak yang katanya untuk minta tolong pada anggota majelis lainnya? Kau bagikan pada siapa saja uang itu? Atau kau nikmati sendiri?”

“Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa dikenakan pasa perbuatan tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik.”

“Aku tidak bodoh. Saat penyerahan uang itu di rumah, aku sudah pasang CCTV agar bisa merekam semuanya. Sudah telanjur basah.”

Bambi sontak terperangan lagi, wajahnya warna bunga waribang. Dia berusaha lepas dari blockade. Saya menghalanginya dengan merentangkan tangan.

“Kamu bisa banding kalau tidak puas,” katanya kemudian.

“Itu rusan nanti!”

“Masih ada waktu tiga hari,” Bambi mengacungkan jarinya.

“Di pengadilan tinggi yang ngurusi sudah beda. Omongnya saja bisa memenangkan kasus. Mana buktinya? Gombal!”

Saya cecar terus dia. Bambi berusaha keras lepas dari kepungan. Ternyata sudah banyak orang yang memperhatikan kami. Beberapa di antaranya malah mendekat dan berkerumun. Petugas sekuriti datang menyibak kerumunan itu. Dia mencoba menenangkan saya. Saya tak peduli. Biar dianggap kampungan sekalipun. Saat itulah Bambi mempergunakan kesempatan untuk lepas. Saya pegangi lengannya. Dia meronta dan berusaha mencabut. Karena hampir lepas, lengan itu saya dekap dengan kedua tangan. Makin kuat dia meronta, makin kuat pula saya mempertahankannya. Saya tergoncang-goncang. Bambi meronta. Lengannya berusaha dicabut sekuat tenaga.

Dengan setengah memaksa, pihak sekuriti berusaha melepaskan tangan saya. Dia mintaagar saya tidak menciptakan keributan. Kedua tangan saya ditepuk-tepuk. Lengan Bambi juga berusaha dilepaskan. Kerumunan terjadi dengan cepat. Beberapa orang membantu melepaskan cengkeraman saya. Akhirnya lengan Bambi benar-benar lepas. Dia dengan cepat menggeblas pergi. Sekuriti berusaha mendinginkan saya. Saya memilih masuk ke toilet. Brengsek!

Barangkali saja banyak yang simpat mendengar kasus saya. Begitu membuka pintu toilet, Devi sudah menunggu saya di ruang khusus wanita itu. Ternyata Devira tahu sepak terjang Bambi. Mereka meman tinggal di kawasan yang sama. Bambi ternyata suka membakar-bakar orang agar berperkara di pengadilan, terutama yang terkait perkara perdata. Mereka yang posisinya kuat dan dinilai akan menang didekati oleh Bambi, dirayu dan dimenangkan di pengadilan. Tentu saja, kata Devira, tidak ada yang gratis. Yang dimintai uang itulah yang dimenangkan.

“Itu persis kasusku. Tapi mengapa aku tidak dimenangkan?” saya bertanya pada Devira.

“Ibu tahu,” Devira meyakinkan, “perempun yang diajak berdansa tadi itu adalah anak dari almarhum Pak Madali, yang Ibu gugat.”

“Namanya Miske, katanya.”

“Bukan. Nama aslinya Kiara. Sebagai ahli waris, dia tak pernah datang ke pengadilan. Hanya diwakili oleh kuasa hukumnya. Ibu dipermainkan Pak Bambi demi mendapatkan Kiara.”

“Aku memang pernah mendengar nama itu. Setan semuanya!”

Meski emosi sudah dapat saya kuasai, dada saya makin membara. Saya keluar dari toilet bersama Devira. Suasana sudah lebih sepi. Empat pasang pedansa tampak di arena. Brengsek, tak tahu malu! Salah satu pasangan itu ternyata Bambi dan Miske. Mereka melantai lagi. Irama rumba mengalun. Tubuh mereka terlihat lebih merapat. Irama ini memang cocok sebagai dance of love. Saya perhatikan pasangan Bambi dan perempuan berselendang baby blue dengan hati panas. Mereka tampak sangat mesra. Tangan mereka saling memegang tubuh pasangannya.

Sialan lagi! Ketika sesi rumba berakhir, saya melihat pasangan Bambi dan Miske tetap berangkulan sambil berjalan meninggalkan arena. Ternyata kedua insan ini tidak memilih duduk, tapi berjalan menuju lift. Saya perhatikan mereka hingga masuk ke ruang lift. Menutup dan terus naik. Entah ke kamar nomor berapa. Bambi dan Miske ternyata telah menjalin hubungan tidak hanya di lantai dansa dan mempermainkan peradilan, namun telah sampai pula ke ceruk-ceruk yang sangat pribadi. Cuk! ***

Surabaya, Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak