Oleh M. SHOIM ANWAR
AKU ingin membangunkan gubuk untukmu, Anakku. Bukan istana, sebab pada istana yang dikelilingi sungai-sungai buaya, pagar tinggi dengan kawat berduri baja, kau terpenjara dengan dijaga anjing-anjing yang siap memangsa. Di pintu gerbangnya para penjaga yang tak ramah selalu mencurigai tamu yang hendak mempersembahkan sekuntum bunga. Lalu kapankah kau dapat memadu rasa? Bunga-bunga yang kau terima bukan dari tangan pertama. Tak ada senyum dari bibir yang rekah. Hanya pesan yang hampa, sebab manisnya telah disunat para penjaga dan mahkotanya telah diganti plastik berkesumba.
“Mengapa Papa tak memilih istana?”
“Dari dulu istana tak pernah berubah.”
“Kalau bisa buat istana, mengapa hanya gubuk, Papa?”
“Pada saatnya kau akan mengerti, Dewi.”
“Hidup adalah hari ini, Papa.”
“Kau yakin itu?”
“Faktanya. Tak ada yang tahu soal hari esok,” jawab putriku sambil mengacungkan jarinya di depan hidung.
Kulit mukanya tampak merona dengan mata menyipit. Rambutnya sepundak tumbuh semu merah, bagian depan yang ikal meluruh ke dahi. Anakku pakai pita merah muda di rambutnya. Kulihat gambar siluet kucing pada kaus hitam yang dikenakannya. Putri tunggalku telah tumbuh menginjak remaja. Tubuhnya terkesan mungil dan gesit. Makin mengingatkan aku pada ibunya.
“Papa, kapan kita ke istana?”
“Nantilah,” jawabku mengelak.
“Jangan-jangan Papa cuma PHP.”
“Apa itu?”
“Pemberi Harapan Palsu!”
Aku kembali tersentak. Rasa perih tiba-tiba menyesak di dada.
Aku adalah bagian dari pasukan penjaga istana. Tak boleh basa-basi pada siapa pun di sana. Tata cara tertulis dengan tinta yang tak mungkin diubah. Kaku kayak tembaga. Aku harus berdiri tegak seperti patung di gerbang tua. Menunggu waktu usai jaga, memeram dahaga dan jenuh yang melimpah. Aku bukanlah orang yang hanya bisa curiga pada istana, sebab tiap hari aku memang di sana sebagai saksi sejarah. Kehidupan istana telah kupahami seperti aku memahami lekuk-lekuk tubuhku sendiri. Usia merambat hampir tua. Hidup seperti kereta, melintas pada jam dan tempat yang sama. Tampaknya memang berjalan, tapi pada hakikatnya mandek belaka.
Burung-burung saja yang bebas keluar masuk istana, berkicau memadu asmara di pohon beringin tua sambil menikmati buah-buahnya hingga berjatuhan di halaman. Baginda dan permaisuri mendengarkan kicauannya di teras, sambil menyeruput kopi dengan aroma dupa dari ruang sesaji. Para penjaga bersiap waspada di tiap pojok istana. Sesekali putri kecilnya muncul juga ke teras, dibelai halus oleh baginda. Tapi sang abdi, dengan sikap membungkuk-bungkuk kayak kura-kura, segera mengajak kembali sang putri ke taman keputrian. Tak banyak yang tahu seluk-beluk ruang istana di dalam sana. Hanya baginda dan keluarganya saja yang berhak. Para penjaga tak ada yang berani mendekat.
Aku ingin membangunkan gubuk untukmu, Anakku. Bukan istana, sebab pada gubuk di tepian sawah kau bisa memandang udara terbuka dengan angin semilir menggoyangkan dahan-dahan dengan cinta. Lihatlah parit-parit kecil dipenuhi ikan bersuka, bening seperti bola matamu yang memandang bukit hijau berhuma. Kau bisa beranjak dan berlarian sepuas rasa, memburu capung dan kupu-kupu di pematang berbunga. Siapa yang kau cinta datanglah tanpa penjaga. Ajaklah meniti pematang sambil bergandeng tangan. Sesekali kau akan terjatuh. Dan dia menahanmu dengan tawa dan lengannya.
Masa kecilku yang indah terlalu segar dalam kepala. Kuingin putriku pun bisa menikmatinya. Tapi istana telah merampas sebelum hidupku jadi paripurna. Akulah sang prajurit muda. Masuk ke lingkaran istana untuk menjadi penjaga dan mengamankan tahta. Tak ada yang mampu menolak, sebab istana merasa punya hak untuk mempekerjakan siapa saja yang dikehendakinya. Penolakan adalah pembangkangan luar biasa dan dinilai anti istana. Nyawa menjadi taruhannya.
Siapa pun bisa merasakan perihnya. Ketika istriku hamil muda, istana menjatuhkan telunjuknya. Aku diwajibkan menjadi penjaga. Istriku menangis karena harus dipisah. Kami sama-sama tak berdaya. Menjadi penjaga, hidup di barak samping istana, tak boleh pulang bertahun lamanya, karena dikhawatirkan membocorkan rahasia. Kami dikurung di pagar tembok tak terhingga. Dunia di luar mungkin sudah demikian terbuka. Tapi kami masih di dalam peti. Tak seorang pun merasa bahagia. Menjadi penjaga istana adalah hukuman yang menyerimpun raga dan sukma. Selepas kepergianku, istriku tentu menjerit pilu. Demikianlah orang-orang begundal istana selalu berkeliaran ke pelosok-pelosok desa untuk mencari mangsa.
“Papa, antarkan aku ke istana.”
"Jangan sekarang, Dewi.”
“Terus kapan?”
“Sabarlah...”
“Aku pingin segera ketemu mama,” putriku makin merajuk. Kakinya yang mengenakan sepatu biru berpita Jingga disentak-sentakkan ke tanah. Terasa makin menusuk di dadaku. Aku tak bisa menyalahkan anakku kalau dia ingin bertemu ibunya. Sejak umur dua tahun dia dipisahkan dengan ibunya oleh pihak istana.
Ceritanya demikian. Suatu hari, mungkin karena rindu yang tak tertahankan, istriku nekat menerobos istana untuk menemuiku. Tentu saja dia ditangkap sebelum anjing-anjing menghajarnya. Ada penjaga yang memberitahukan hal itu padaku. Katanya, waktu dihadapkan ke baginda, sang baginda tertarik dengan istriku karena kecantikannya. Istriku katanya mau dijadikan penari istana. Tentu saja aku patut curiga, baginda telah memperlakukan istriku sesuai hasrat dan nafsunya. Istriku tak berdaya. Aku juga tak pernah dipertemukan dengannya. Dan hingga kini dia tak pernah kembali.
Perihal penari istana memang sudah banyak yang mendengar. Orang-orang suruhan istana juga kelayapan mencari para perempuan cantik untuk dibawa ke istana dengan dalih mau dijadikan penari, khusus menghibur keluarga istana beserta tamu-tamu agungnya. Sesekali memang terdengar alunan gending dari dalam istana. Tapi hingga kini perempuan-perempuan cantik itu tak ada yang kembali ke desanya. Kabar mengerikan malah menyeruak, konon perempuan-perempuan cantik itu dijadikan wadal alias tumbal istana, dimasukkan ke sumur lorong gelap bawah tanah yang dihuni Nyi Blorong peliharaan istana. Konon, di malam Rabu Kliwon, ketika gending terdengar di tengah malam disertai bau kembang dan kemenyan, saat itulah waktunya wadal diumpankan. Paginya, burung-burung gagak beterbangan di genting istana, berkaok-kaok memberi isyarat melengking-lengking. Adakah dia mencium darah dari sisa korban di lorong gelap bawah tanah?
Trihayu, istriku tercinta, lenyap ditelan istana. Bertahun-tahun tak ada yang tahu kelebatnya. Terlalu indah kenangan hidup dengannya. Tapi kini berbalik jadi terlalu perih di dada. Masih kuingat ketika mengetahuinya untuk yang pertama dulu. Dari jalan desa yang panjang, masuk melewati perkebunan tebu di sebelah kiri dan kanannya, maka sampailah di Kampung Ranggung. Jalanan tanah berdebu. Rumah-rumah kecil berderet di sana. Pekarangan Trihayu dilingkungi pohon-pohon rambutan dan jeruk nipis. Bunga-bunga liar tumbuh menempel di pohon depan rumahnya. Di bawah pohon-pohon itulah cinta kami tumbuh mengakar.
Trihayu tahu persis kesukaanku. Wedang jeruk nipis yang hangat. Tiap aku datang dia membuatkan minuman itu untukku. Buah jeruk nipis yang ranum, warnanya kuning dan harum baunya, terasa nikmat menjalar, mengingatkan aku ketika mencumbunya di malam pertama
“Kamu akan jadi istriku selamanya,” kataku saat akan melamarnya.
“Umur kita selisih banyak,” Trihayu menatapku, wajahnya sedikit menegang.
“Rasa tak mengenal usia.”
“Sembilan tahun.”
“Apa artinya selisih segitu.”
“Nggak apa-apa kok.”
“Mungkin saya kecopetan lahir.”
Trihayu menunduk, jemari kakinya digerak-gerakkan menggores ke tanah. Kupegang tangannya pelan, terasa ada keringat dan getaran di jemarinya yang mungil. Aku makin mantap. Dialah pendamping hidupku. Sementara burung-burung kutilang terdengar bercerecet di ranting-ranting pohon rambutan. Semua menjadi saksi. Tapi kini Trihayu tak kuketahui keberadaannya lagi. Aku melenguh-lenguh seperti sapi di padang tandus yang haus dipanggang berahi.
Anakku benar-benar hidup sendirian setelah ibunya diganyang istana. Dia akhirnya diasuh keponakan kami, dibawa ke tempat yang jauh, di luar wilayah kekuasaan istana. Anakku disekolahkan dan hidup dalam keluarga berada. Kulitnya putih bersih. Suka pakai celana pendek. Dia cerdas dan lincah, pintar menulis kisah-kisah. Gaya hidupnya sangat berbeda dengan kami saat di desa. Ke mana-mana dia membawa alat di genggamannya, untuk berhubungan dan saling sapa dengan teman-temannya di jauh sana Anakku memanggilku “papa” dan memanggil ibunya “mama”. Aku bersyukur bahwa keponakan kami tetap menunjukkan bawa aku dan istriku adalah orang tuanya sebenarnya. Keponakan kami juga telah mengatakan pada anakku bahwa aku dan istriku bekerja di istana. Mungkin anakku bangga tapi aku merasakan perih di dada.
Dan, sekarang ini, aku baru dapat menemui anakku, setelah lima belas tahun aku dalam cengkeraman istana. Wajah dan rambutnya mirip ibunya. Kupeluk dia dan tak ingin dipisah. Tapi ini bukan kebebasan selamanya. Orang-orang suruhan istana selalu mengintai gerak langkahku. Aku dimata-matai karena dikhawatirkan bersekongkol dan membocorkan rahasia. Dua atau tiga hari ke depan pihak istana akan menjemputku kembali.
“Saya pingin ikut Papa dan mama ke istana,” kata anakku lagi.
“Papa dan mama kerja, Dewi.”
“Gimana sih rasanya kayak putri istana dalam dongeng Cinderella.”
Aku ingin membangunkan gubuk untukmu, Anakku. Bukan istana, biar sehabis sekolah anak-anakmu kelak bisa merasakan indahnya dunia, hujan-hujan sambil bermain lumpur di tanah basah dengan teman-teman seusia. Berteriaklah sebatas mereka suka, nadanya akan menggema makin indah. Dan ketika matahari akan membenam, tampak langit dengan gumpalan mega merah muda. Mandilah di sumur dengan timba, menggerojok seluruh tubuh dengan air tanah. Di surau mereka mengaji mengeja alif bata, bermain umpet-umpetan sambil menanti salat Isya.
“Kalau Papa tak mau, berarti tak sayang sama Dewi.”
“Jangan bicara begitu, Anakku,” jawabku spontan. Ada getaran mengalir ke seluruh tubuh. Rasa cemas meremasku. Anakku menatap wajahku. Bulu matanya yang agak kemerahan bergerak-gerak lamban. Kupeluk kembali anakku kuat-kuat.
“Papa sayang kamu, Dewi..”
Dan benar. Para cecunguk kembali meringkus kebebasanku. Empat orang menjemputku seperti menangkap buronan yang kabur. Aku kembali dibawa masuk ke pagar istana. Kemurahan hati baginda, kata para cecunguk, harus diimbangi dengan kesediaan untuk kembali. Gombal. Entah sampai kapan lagi. Anjing-anjing menyalak ketika aku dibawa masuk. Seperti biasa, suasana istana tetap kaku seperti pohonan di musim salju. Para penjaga di pojok-pojok juga berdiri kaku seperti patung batu.
Aku ingin membangunkan gubuk untukmu, Anakku. Bukan istana, sebab pada istana anak-anakmu akan digembala oleh para abdi dan penjaga, dicekoki kisah raja-raja entah berantah, dimanja dengan senyum pura-pura, dipisah dari teman sepermainan dengan alasan keturunan darah, mainannya kuda kayu tembaga, dijaga agar tak mangayuh sempurna, karena takut anak-anakmu terjatuh saat bersuka. Tangan anak-anakmu tak boleh menyentuh tanah, akibatnya mudah sakit karena tak punya kekebalan alamiah. Aku ingin membangunkan gubuk untukmu, Anakku. Bukan istana.
Seperti biasa, istana tetap tak ramah. Para penjaga juga tetap tak boleh kumpul bersama. Kami dipisah sendiri-sendiri. Tidur sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri. Berkumpul hanya ketika dikomando di lapangan terbuka untuk urusan jaga semata. Komunikasi antar penjaga hanya ketika berpapasan, atau mencuri kesempatan ketika dikumpulkan.
Tiba-tiba anjing-anjing istana menggonggong luar biasa. Adakah mereka mencium bau darah yang tak biasa di lingkungan ini. Dari pintu gerbang kulihat tiga orang cecunguk istana membawa masuk seseorang. Aku terjingkat. Dewi? Kuperhatikan sekali lagi. Benar, perempuan yang dibawa masuk itu tidak lain anakku. Jangan ke istana, Anakku! Aku ingin meneriakkan kata-kata itu. Tapi anakku sudah berada di sini. Tulang-tulangku seperti remuk seketika. Bagaimana mungkin anakku sampai di istana. Apakah dia nekat berangkat sendiri untuk menemui aku dan ibunya? Tapi mengapa para penjaga tak menghalaunya. Atau para cecunguk istana itu yang membawanya kemari karena mereka telah tahu wajah anakku ketika menjemputku beberapa hari yang lalu.
Anakku akan dibawa masuk ke ruangan istana. Berjalan mendekati teras, menaiki trap tujuh tingkat, lalu pintu istana membuka. Di sebelah kiri dan kanan para penjaga mengapit anakku. Seorang lagi di belakangnya dengan jarak yang rapat. Anakku telah dibawa masuk. Dia lenyap dari pandanganku. Pasti dia akan dipertemukan dengan baginda Istana yang laknat. Mengapa aku, istri, dan anak kesayanganku, semua diganyang oleh istana. Sudah sering aku melihat kejadian serupa. Perempuan muda dibawa masuk dihadapkan baginda. Lalu musnah tak ada ceritanya. Tubuhku serasa meleleh dan hancur.
Anak kesayanganku lepas dari pelukanku. Tiga hari lagi adalah malam Rabu Kliwon, Malam yang penuh misteri bagi kehidupan istana. Bunyi gamelan, bau kembang dan kemenyan akan menyelimuti istana.
“Anakku Dewiiiiii..........” ***
Surabaya, Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak