8 Februari 2015

Sang Penyair, Pelukis, dan Mungkah

Oleh SUNARYONO BASUKI KS.

Jalan Gajah Mada, Denpasar, Agustus 1962

Cerpen Jawa Pos: Sang Penyair, Pelukis dan Mungkah
Aku bertemu Gde Mangku, sang penyair, berjalan bersama Wim, calon pelukis yang ingin belajar melukis di Bandung, bukan di Jogja. Aku sarankan dia belajar melukis di Jogja namun dia menolak sebab dia ingin mempelajari seni rupa gaya Bandung yang berpaling ke Barat. Sudah kuingatkan bahwa Jogja punya Affandi yang jago ekspresionis, toh dia tetap berkeras hati untuk belajar ke Bandung.

Akan halnya Gde Mangku aku sudah tahu dari majalah yang memuat karyanya yang sangat bermutu. Banyak sajak-sajaknya dimuat pada Mingguan Siasat. Hanya sajak-sajak bermutu yang dimuat di situ. Kakak kelasku di SMA termasuk penyair muda beruntung. Satu puisinya dimuat di situ. Namanya Santi Sardjoe. Kelak dia menjadi profesor bahasa Perancis di UI. Jurusan yang ditekuninya semenjak dia menjadi penghuni Asrama Putri Wismarini di Jatinegara.

Walau sesama mahasiswa UI, kami jarang bertemu. Maklum, Mbak Santi kuliah di Fakultas Sastra, Rawamangun, dan aku di Fakultas Psikologi di Jalan Diponegoro, di seberang rumah sakit, sekarang RSCM. Saat ini, seluruh fakultas UI pindah ke Depok, hutan kota yang luar biasa luasnya. Dapat dikatakan sebagai kota UI, yang lengkap fasilitasnya. Mungkin Fakultas Kedokteran Selemba sengaja tidak dibongkar untuk menjadikannya memorial bagi UI. Aku pernah mengambil kuliah pada beberapa ruangannya seperti lab biologi, lab histologi, embriologi, dan cytology. Di lab ini terdapat sejumlah mikrospkop, yang sewaktu tentamen berisi preparat dan di samping kanannya ada pertanyaan yang harus dijawab. Mahasiswa harus menjawab dengan cepat sebelum harus bergeser ke mikroskop berikutnya. Dan aku tidak lulus tentamen.

Tanjung Bungkak, Denpasar, di Dangau Sebelah Selatan Jalan, Agustus 1962

Di tempat ini Hok Djin dan aku bertemu dengan seorang lelaki kurus yang namanya selalu aku ingat: Sutan Chaidir. Nama bangsawan ranah Minang ini mengingatkan aku pada guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN Malang. Namanya Djonhar Sutan Paduko Sati. Pada sore tertentu rumahnya di Jalan Muria Malang terbuka untuk kami. Beliau mendorong kami suka membaca. Bukan hanya itu saja. Beliau selalu bertanya pada kami mengenai buku yang sudah kami baca. Ternyata beliau juga membaca terjemahan yang saya lakukan yang dimuat pada majalah Tanah Air. Judulnya “Kakiku yang Berharga” karangan Heinrich Boll. Beliau sendiri menerjemahkan buku tata bahasa karangan Brandes dan karenanya, selain mengajar di SMA, beliau juga diminta memberi kuliah di FKIP Unair, yang kemudian menjadi IKIP Malang dan kini Universitas Negeri Malang.

Beliau memujiku atas kegiatan ini, dan juga membaca cerpenku berjudul Gadis yang dimuat di koran Berita Minggu yang dicetak sebanyak 160.000 eksemplar. Sewaktu aku pindah ke Jakarta aku baru tahu bahwa surat kabar tersebut dicetak selama dua hari. Yang dicetak pada hari Jumat dikirim ke Surabaya dengan kereta api pada hari Sabtu. Koran tersebut disebarkan ke kota-kota yang dilewati dan akhirnya mencapai Surabaya pada Sabtu sore, dan sudah bisa diedarkan di Malang pada hari Minggu.

Konon, walau surat kabar tersebut sampai di kota-kota yang dilalui kereta api pada Sabtu malam, surat kabar itu baru diedarkan pada hari Minggu. Anehnya tak pernah terdengar berita mengenai kereta api yang terlambat.

Sama halnya dengan majalah Varia yang dipimpin oleh Mr Hadely Hasibuan itu. Kalau kita lupa hari apa hari ini, asal majalah Varia muncul, pastilah itu hari Rabu. Padahal penjual majalah tersebut sudah menerima Varia pada hari Selasa sore. Aku kagum pada kepatuhan penjual majalah itu yang mangkal di depan pintu Kantor Penerangan di Jalan Kayutangan, sekarang Jl Basoeki Rachmat, Malang.

Ada cerita lain menggenai Mr Hadely Hasibuan. Saat harga-harga melonjak naik, dia mengusulkan pada Bung Karno agar bisa diangkat sebagai Menteri Penurunan Harga. Aku tidak ingat apakah beliau jadi diangkat jadi menteri atau tidak. Hanya aku ingat harga-harga kain melambung tinggi dan Soekarno kewalahan. Selebihnya Anda tahu sendiri kisahnya...

Puluhan tahun kemudian setelah aku pindah ke Bali, dalam perjalanan ke Denpasar dari Singaraja untuk mengajar, aku selalu lewat di Desa Baturiti di pegunungan dan melihat papan nama pelukis Sutan Chaidir. Jadi, dia menetap di Bali dan menjadi pelukis, mungkin juga menikah dengan wanita Bali. Namun aku belum pernah berhasil menemuinya di Baturiti, sebab bilamana aku berhenti dan mencoba mencari sanggar lukisnya di sana, yang kutanya mengatakan "terus saja ke sana" padahal aku sudah beberapa ratus meter menuruni tebing. Aku tidak yakin mampu mendaki kembali ke tepi jalan raya, sehingga kuputuskan tidak terus berjalan turun.

Sampai pada suatu hari aku mendapat undangan ceramah Prof I Gusti Ngurah Bagoes di Museum Denpasar. Ternyata di ruang lain museum diadakan pameran lukisan bersama. Karena tertarik, aku tinggalkan area ceramah dan bergerak ke ruang pameran. Tak kuduga, salah seorang peserta pameran adalah Sutan Chaidir. Aku tanya-tanya yang mana Sutan Chaidir dan ketemui seorang lelaki yang pasti tak kukenali kalau aku berada di lempai lain. Aku menyebut namaku dan mengingatkannya kapan kami bertemu pertama kalinya. Tak kuduga aku dipeluknya seolah aku sahabat lamanya yang hilang.

Gajah Mina, Pengabenan Masal di Desa Banjar Jawa, Singaraja, 1972

Pada saat itu aku baru saja tinggal di Singaraja, Bali, selama tiga tahun dan baru tahun kedua menikah. Sulung kami, Wawan, masih bayi. Pengabenan masal ini diselenggarakan oleh keluarga dokter yang bekerja untuk PBB dengan biaya Rp 2 juta, jumlah biaya yang membuat kami terbengong-bengong. Gajiku sebagai dosen baru tak sampai dua ribu rupiah, beli telur seratus rupiah mendapat tujuh butir.

Aku belum pernah menyaksikan pengabenan sampai saat itu. Kelak aku beruntung dapat menyaksikan pengabenan besar yang sesungguhnya, yakni pada tahun 1975 saat dilaksanakan Pelebon Agung Raja Ubud. Waktu itu, karena yang diaben keluarga kerajaan yang berkasta disebut pelebon, sedangkan pembakaran jenazah bagi orang kebanyakan disebut ngaben. Tetapi keduanya punya daya tarik masing-masing. Terutama tentu saja ngaben yang diselenggarakan di desaku, di mana aku bisa mendengar suara gamelan dipukul hampir sepanjang hari, siang dan malam.

Tentu saja penabuhnya bukan orang-orang yang sama secara terus-menerus, namun berganti- ganti. Juga tercium bau asap masakan. Ibu-ibu memasak sate penyu, para lelaki membuat babi guling, yakni babi yang diasap selama beberapa jam. Babi yang sudah disembelih, kulitnya dibersihkan dengan cara membakar daun kelapa kering. Kulit babi yang hitam itu berubah menjadi putih. Babi kemudian dibedah perutnya dan isinya dikeluarkan, diganti dengan bumbu-bumbu dedaunan kemudian dijahit kembali. Kemudian babi itu ditusuk duburnya sampai tembus ke mulut, dan kemudian tusukan itu dipakai memutar tubuhnya di atas asap yang terus mengepul dari api yang tak kunjung padam.

Nama “babi guling” diambil dari cara babi itu diputar-putar, namun penyebutan yang benar kukira “babi asap”. Babi guling baru masak setelah beberapa jam. Ketika sudah masak, babi dibagi-bagi untuk para pekerja dan mereka mulai menyembelih babi lagi untuk menjamu tamu yang datang mengalir tak henti-hentinya. Sifat sosial macam ini yang membuat biaya ngaben membengkak. Bukan hanya ngaben. Bila ada orang yang meninggal dunia di Bali Utara, tamu yang datang pada malam hari dijamu dengan minum kopi yang tak ada putusnya dan hidangan kue yang sepertinya tak habis-habisnya.

Yang paling menarik adalah upacara mungkah 1 atau membongkar kuburan. Malam hari sebelum pengabenan, keluarga dari yang akan diaben pergi ke kubur, tua dan muda, kakek dan anak-anak. Mereka membawa alat menggali dan juga ember air dan rerumputan yang akan digunakan untuk membersihkan tulang belulang atau apa pun yang diketemukan nanti. Di tanah kuburan sendiri didirikan trag-tag, yakni bale-bale darurat dibuat dari bambu untuk menempatkan tulang belulang yang sudah dibersihkan agar tidak dimakan anjing. Walaupun sudah ditaruh di atas bale-bale bambu, pada malam hari tulang belulang itu tetap dijaga oleh sejumlah keluarga di pelataran kuburan.

Sewaktu mungkah terjadi dialog yang menggelikan antara orang-mang yang membongkar kubur dan tulang belulang yang ditemukan. Terkadang seorang bocah diajak berdialog dengan tulang belulang kakeknya: “Pekak, ini cucunya mau ikut memandikan kakek.” Tentu saja “sang kakek” tidak bisa menjawab. Tugas menjawab digantikan oleh lelaki yang mengajak bocah itu. Terjadilah dialog yang lucu yang merupakan daya tarik mungkah. Banyak anggota keluarga dan warga desa yang sengaja pergi ke tanah pekuburan untuk mencari hiburan dengan mendengarkan dialog lucu itu, sering dengan tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba Pak Suamba yang tahu aku suka sastra bertanya kepadaku:

“Bapak kenal Gde Mangku?”

“Ya, saya pernah jumpa dengannya di Jalan Gajah Mada Denpasar, pada tahun 1962.”

“Dia berasal dari Banjar Jawa sini dan ikut diaben.”

“Apa dia juga dikubur di sini? Jadi ikut dibongkar kuburnya?”

“Waktu prahara tahun 1965 itu, dia ikut ditumpas tetapi tak diketahui kuburnya.”

“Lalu bagaimana caranya?”

“Kita akan panggil rohnya. Lalu ditempatkan pada sebuah adegan yang dibuat dari kayu cendana. Adegan inilah yang ikut dibakar nanti waktu ngaben.”

“Oh, selamat jalan Pak Gde Mangku Semoga arwahmu diterima Hyang Widhi. Kamu hanyalah korban politik, sebab kamu bukan komunis. Sajak-sajakmu tidak berbau komunis,” bisikku.

Terdengar suara gamelan bertalu-talu mengiringi iring-iringan jenazah ke serra 2. ***


Singaraja, akhir April 2014
Terima kasih pada sahabat Made Adnyana Ole

  1. Mungkah: upacara membongkar kuburan sebelum upacara ngaben. Tulang belulang dikumpulkan dan dibersihkan. Namun di dalalam Kamus Bahasa Bali-Indonesia terbitan Balai Bahasa Denpasar tidak dapat saya temukan entry/lema mungkah/ungkah. Berbagai pihak yang saya tanya lewat internet memberi pilihan lain. Ternyata Google memberi solusi, yakni kata ungkah ternyata bahasa Indonesia dan bermakna membongkar.
  2. Setra: kuburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak