Oleh DJOKO PITONO
Apa yang Anda pikirkan saat seorang bupati ditangkap KPK karena kasus korupsi? Harap tidak berprasangka buruk mengapa hanya menyebut bupati. Bukankah banyak pejabat lain yang juga diadili dan dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi?
Benar belaka. Korupsi memang tidak hanya dilakukan sebagian bupati, tetapi juga sebagian wali kota, sejumlah gubernur, beberapa menteri, dan sebagainya. Tindak pidana korupsi juga dilakukan orang-orang beragam profesi. Ada oknum polisi seperti Djoko Susilo, oknum jaksa seperti Urip Tri Gunawan, oknum hakim seperti Akil Mochtar, oknum pimpinan partai seperti Anas Urbaningrum, dan sebagainya. Nyaris tidak ada profesi di negeri ini yang bisa menepuk dada mereka bahwa anggotanya bersih dari tindak korupsi.
Namun, karena kali ini topiknya memang bupati, sebuah jabatan yang pada masa lalu sangat istimewa, izinkan saya membatasi hanya pada topik bupati yang (diduga/disangka) melakukan tindak pidana korupsi.
Bupati atau regent pada masa lalu memang sebuah jabatan yang luar biasa hebat bagi rakyat pada umumnya. Tidak perlu jauh-jauh hingga ke masa ketika jabatan itu baru diciptakan pemerintah Hindia Belanda setelah bubarnya VOC pada pengujung abad ke-18. Pada awal abad ke-20 hingga setidaknya menjelang akhir paro pertama abad itu, warga biasa masih merunduk-runduk, bahkan masih ada yang merangkak-rangkak, ketika hendak menghadap nDoro Kanjeng Bupati.
Pengarang terkenal Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia secara jelas melukiskan bagaimana tokoh Minke, yang juga putra seorang bupati, harus merangkak-rangkak pula di kediaman sendiri untuk menghadap ayahandanya. Bedanya, Minke melakukannya dengan menyumpah-nyumpah dan memperolok dirinya, juga tradisi “primitif” masyarakatnya. Ketika akhirnya Minke berterus terang kepada ayahnya bahwa dia tidak tertarik menjadi bupati, meskipun seandainya besluit Gubernur Jenderal turun untuknya, ayahnya pun kaget. Dia menilai sikap anaknya telah melenceng jauh dari normal.
"Apakah kamu tidak ingin disembah oleh ribuan orang?" tanya ayahandanya. "Saya bukan hanya tidak ingin, ayahanda," jawab Minke. "Saya juga tidak butuh. Orang-orang Belanda sendiri juga tidak membutuhkan."
Setelah Indonesia merdeka, bupati masih dihormati. Di banyak daerah, jabatan itu masih banyak dipegang tokoh-tokoh dari kalangan priayi yang ditunjuk pemerintah. Pada masa Orde Baru, terutama di Jawa dan daerah strategis lain, jabatan bupati merupakan "jatah" militer, terutama dari Angkatan Darat. Umumnya mereka adalah yang sudah punya pangkat letnan kolonel. Jarang ada yang berani dan bisa "mengulik-ulik" Pak Bupati.
Sekarang, lebih dari 200 tahun sejak munculnya jabatan bikinan Belanda itu, jabatan bupati sudah lain sekali. "Kesakralan" jabatan bupati nyaris hilang. Menjadi bupati sekarang tidak perlu seorang letkol. Dalam 10 tahun terakhir ini, orang-orang biasa dari sipil dapat berupaya menjadi bupati melalui pilkada langsung. Tetapi, mereka harus berasal dari partai politik atau pintar merangkul orang-orang parpol untuk mencalonkannya sebagai bupati dalam pilkada. Ada syaratnya, tentu saja. Yang paling utama adalah tersedianya dana yang "cukup". Tidak peduli jabatan bupati kembali ditentukan di DPRD setelah RUU Pilkada disetujui DPR Jumat dinihari (26/9).
Namun, yang sangat membedakan jabatan bupati sekarang dengan bupati masa lalu adalah begitu banyaknya bupati atau mantan bupati yang sedang diadili di pengadilan. Juga mereka yang sudah masuk bui, umumnya karena tuduhan telah bertindak pidana korupsi.
Jumlah bupati, termasuk mantan bupati, yang menjadi terpidana sungguh merupakan fenomena tersendiri. Apalagi bila data dari luar Jawa dimasukkan. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, menjelang akhir 2014 ini, ada hampir 350 bupati/wali kota yang terseret kasus korupsi di seluruh Indonesia. Jumlah itu akan terus bertambah karena ada beberapa orang yang kini masih diadili.
Betapapun orang-orang pantas heran, mengapa seorang bupati melakukan korupsi? Apakah penghasilannya masih kurang? Apa pun jawabannya, bagi kalangan tertentu, khususnya orang-orang kejawen, banyaknya bupati yang masuk bui telah diramalkan Prabu Jayabaya, raja Kediri abad ke-11 yang memang dikenal sebagai peramal ulung. Dia boleh disebut "Nostradamus from Java". Dalam satu butir tafsir ramalannya dalam bahasa Jawa, Sang Aji Jayabaya melukiskan keadaan masyarakat Jawa yang dilanda kekacauan.
Banda dadi sewala, pangkat dadi pikat.
Sing menang pada sawenang-wenang, rumangsa menang.
Sing salah ngalah rumangsa kabeh salah.
Ana bupati saka asor iman, pepatihe kepala judi.
Sing ati suci pada dibenci, sing jahat pinter njilat tur oleh drajat.
Sing maling tenguk-tenguk nemu ketuk.
Pitik angrem sakduwure pikulan.
Orang-orang pun bertanya, sampai kapan keadaan seperti ini akan berakhir? Kapan saat jabatan bupati kembali dihormati? Atas pertanyaan demikian, kita tetaplah harus optimistis bahwa keadaan masih tetap bisa diperbaiki. Setiap zaman selalu terdiri atas orang-orang yang jujur dan berkualitas, juga mereka yang senang bertindak tidak jujur.
Dalam setiap zaman selalu ada makhluk Tuhan yang hidup seperti lebah, mencari makanan yang tidak hanya halal, tetapi bermutu, juga menyebarkan kesehatan dan kebaikan. Di lain pihak, ada makhluk seperti lalat dan kecoak, mencari makan di tempat-tempat kotor dan berbau busuk.
Ada bupati seperti Bupati Karawang Ade Swara, Bupati Biak Numfor Yesaya Sumbuk, dan Bupati Bogor Rachmat Yasin yang ditangkap KPK tempo hari karena tuduhan korupsi. Tetapi, ada pula bupati yang jujur, inovatif, serta kreatif seperti Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Bupati Keerom (Papua) Yusuf Wally. Mereka, para bupati itu, bekerja dengan sungguh-sungguh memikirkan peningkatan kesejahteraan rakyatnya.
Kita masih bisa tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak