5 Oktober 2014

Tiga Keputusasaan

Oleh A.S. LAKSANA

Setidaknya ada tiga hal sampai saat ini yang saya ingat pernah membuat saya putus asa. Yang pertama adalah pelajaran kimia. Saya suka membaca buku-buku tentang para penemu saat masih SD dan ada sebuah buku dengan kalimat pendorong di sampul belakang yang membuat saya terpukau, kurang lebih seperti ini: "Semoga buku ini memunculkan ilham di dalam diri Anda. Siapa tahu Anda adalah penemu berikutnya, yang berhasil menciptakan bahan bakar baru dari air dicampur dengan bahan kimia tertentu."

Saya tersihir oleh seruan tersebut dan membayangkan bahwa suatu hari saya berhasil menemukan bahan bakar baru, persis seperti yang disampaikan oleh sampul belakang buku. Sejak saat itu saya menunggu dengan tidak sabar pelajaran kimia di sekolah, dan itu berarti harus menunggu sampai saya SMA. Rasanya lama sekali, padahal saya ingin menjadi penemu saat itu juga.

Sejak itu, secara otomatis kepala saya dipenuhi adegan-adegan laboratorium. Saya membayangkan diri saya berada di sana, mengenakan mantel putih, sedang melakukan percobaan dengan mencampur-campurkan berbagai cairan kimia di dalam deretan tabung reaksi. Adegan di laboratorium itu berakhir manis: saya menuangkan cairan-cairan itu ke dalam satu bak air dan eureka! Saya berhasil menemukan bahan bakar baru dengan air sebagai bahan baku utamanya.

Adegan tersebut melekat lama sekali di dalam benak dan membuat saya semakin tidak sabar menunggu datangnya hari pertama saya mendapatkan pelajaran kimia. Menanti pelajaran kimia bagi saya terasa seperti menunggu datangnya wahyu dari langit yang akan mengubah diri saya dari seorang anak kampung menjadi seorang penemu, setara dengan Thomas Edison, David Livingstone, James Watt, dan sejumlah nama lain yang ada di buku yang saya baca di masa kecil.

Dan, Anda tahu, segala sesuatu niscaya tiba pada waktunya. Di kelas satu SMA saya mendapatkan pelajaran kimia, pelajaran yang sudah saya tunggu-tunggu kedatangannya lebih dari empat tahun, dan saya langsung putus asa menghadapi rumus-rumus. Fakta tentang pelajaran kimia rupanya jauh berbeda dari imajinasi yang saya bangun sejak kecil. Tidak satu kali pun saya pernah memasuki laboratorium selama mengikuti pelajaran kimia. Tentu saja nilai mata pelajaran kimia saya buruk sekali.

Beruntung bahwa selain suka membaca buku-buku tentang para penemu, saya juga menyukai buku-buku cerita dan puisi dan bergairah menonton acara baca puisi. Itu membuat kekecewaan terhadap pelajaran kimia tidak menjadi kesedihan yang berlarut-larut. Keinginan untuk menjadi penemu sudah lenyap dan berganti dengan keinginan untuk menjadi pengarang. Namun keinginan terakhir ini menyusupkan juga perasaan sedih berkepanjangan. Saya kerap membaca tulisan-tulisan yang menyebutkan bahwa menulis belum bisa menjadi sandaran hidup dan beberapa kali saya mendengar cerita-cerita tentang para pengarang yang hidup melarat.

Namun kegembiraan membaca cerita dan puisi memunculkan dorongan untuk menulis dan saya pikir tulisan saya akan dimuat di koran dan majalah jika saya mengirimkan naskah dalam bentuk ketikan yang rapi, bukan tulisan tangan. Lalu saya membeli mesin ketik dan sekaligus buku teknik mengetik sepuluh jari.

Ada tetangga saya yang cakap mengetik sepuluh jari. Ia bisa mengetik sangat cepat tanpa melihat tombol-tombol mesin ketik. Beberapa kali saya main ke rumahnya dan memperhatikan cara dia mengetik. Di rumah, saya mempelajari buku yang saya beli, saya ikuti aturan-aturan pengetikan sepuluh jari, dan saya berlatih mengetik dengan membayangkan tetangga saya melakukannya. Saat itu saya mengetik ulang cerita pendek karya Anton Chekov. Latihan berikutnya saya mengetik satu bab dalam buku Lelaki Tua dan Laut Hemingway, yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.

Gairah untuk belajar mengetik itu tiba-tiba memberi saya keasyikan tersendiri. Jari-jari saya bisa menghasilkan kalimat-kalimat bagus tanpa saya berpikir. Kemudian saya lanjutkan mengetik Lelaki Tua dan Laut sampai rampung satu buku. Saya mengetik ulang sambil membayangkan Hemingway merampungkan novelnya ini. Dan saya melakukan pekerjaan yang sama dengannya, yakni menulis cerita yang persis sama dengan cerita yang ia tulis. Itu membuat saya merasa sama hebat dengan penulis tersebut. Kami pernah menulis cerita yang sama.

Ketika cerpen pertama saya dimuat di koran minggu, dan kemudian puisi saya, saya langsung dijangkiti perasaan bahwa tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain cerpen dan puisi. Sampai kemudian saya menjadi wartawan dan nyaris setiap hari pembicaraan di kantor adalah soal politik dan isu-isu penting kenegaraan. Nyaris tidak ada pembicaraan tentang cerpen dan puisi. Pelan-pelan kepercayaan mahatinggi terhadap cerpen luntur dan saya lantas merasa putus asa: Apa guna fiksi bagi perjuangan politik dan upaya untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, dan apa sumbangannya terhadap pelbagai masalah yang kita hadapi sehari-hari? Saya pikir nihil.

Isu-isu politik begitu menggairahkan dan penemuan dengan para pejabat atau tokoh politik, yang seolah-olah mengetahui semua rahasia negara dan menggenggam informasi vital di kedua tangan mereka, jauh lebih menggugah selera ketimbang pertemuan-pertemuan dengan para penulis yang tak sanggup menopang hidup mereka dengan tulisan. Sekarang situasinya masih demikian. Isu-isu politik masih mengisap perhatian banyak orang, tetapi saya tidak lagi terpukau. Saya lebih menyukai cerita yang bagus ketimbang politik.

Sekarang, politik membuat saya putus asa dan dijangkiti ketidakyakinan bahwa pelbagai urusan di negara ini bisa dijalankan secara beres. Saya putus asa dengan kualitas yang ditunjukkan oleh kebanyakan politisi. Mereka terlalu riuh dan membuat saya sulit memusatkan perhatian pada satu hal yang saya geluti, satu hal yang menjadi kesenangan saya.

Becermin dari tiga kekecewaan yang telah saya alami -terhadap pelajaran kimia, terhadap fiksi, dan terhadap keriuhan para politisi- setidaknya saya mendapatkan satu pelajaran. Jika Anda menganggap urusan Anda penting, Anda harus menjadikannya penghuni utama benak Anda. Jika Anda tidak memfokuskan perhatian Anda pada urusan Anda, maka Anda akan terombang-ambing. Hari ini kita sudah akan dihantam oleh berbagai isu sejak kita membuka mata di pagi hari.

Selain itu, jika Anda menganggap urusan Anda adalah sesuatu yang sangat penting, misalnya urusan tulis-menulis, maka Anda perlu menanamkan ke dalam kesadaran Anda, bahwa Anda bisa melakukan banyak hal dan mendapatkan banyak hal dengan tulisan-tulisan Anda. Jika Anda menganggap menulis adalah hal yang penting, Anda akan bergairah meningkatkan keterampilan teknis dan terus mencari tahu kenapa orang bisa menulis bagus.

Hal terakhir yang juga patut kita cari tahu, kenapa orang bisa menjalani hidup sejahtera dengan menulis? Karena bla-bla-bla. Silakan Anda mengisi jawaban Anda sendiri.

Itu pertanyaan penting, sebab tidak ada gunanya Anda menggeluti dunia tulis-menulis sambil meyakini bahwa menulis tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Kesadaran yang demikian hanya akan membuat Anda menulis dengan perasaan putus asa dan menjadikan Anda sulit meningkatkan kualitas. Menulis adalah kecakapan yang tidak mudah dikuasai, sama halnya dengan kecakapan membedah lutut, atau tatabuku, atau memperbaiki kerusakan mesin mobil. Jika Anda mempelajari sebuah kecakapan yang sulit, dan suatu saat Anda berhasil menguasainya, dan kecakapan itu ternyata tidak bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup, maka menurut saya sebaiknya ia ditinggalkan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak