Oleh M. SHOIM ANWAR
Oktober dicanangkan sebagai Bulan Bahasa. Program-program kebahasaan dan kesastraan, terutama di lembaga-lembaga formal yang terkait dengan bidang tersebut, meningkat jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan pengakuan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia menjadi landasan historisnya.
Butir ketiga Sumpah Pemuda yang menyatakan "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" serta pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi "Bahasa negara ialah bahasa Indonesia" menjadi pijakan formal dan konstitusional dalam memperlakukan bahasa Indonesia.
Masalah yang terkait dengan bahasa Indonesia juga telah diundangkan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Dalam undang-undang itu, sebagian besar pasal menggunakan kata "wajib" dalam mengatur penggunaannya. Pelanggaran terhadap pasal-pasal yang ada telah disertai sanksi pidana dan denda. Pihak penegak hukum, baik ada aduan maupun tidak, dapat memproses pelanggaran hukum terkait hal tersebut. Pelanggaran penggunaan bendera, lambang negara, serta lagu kebangsaan pernah ditindaklanjuti oleh pihak berwajib. Tetapi, mungkin belum pernah terdengar ada pihak yang memperkarakan pelanggaran hukum penggunaan bahasa Indonesia.
Pada 1990-an, ketika undang-undang kebahasaan belum ada, pernah digalakkan pemakaian bahasa Indonesia dengan agak gencar. Nama-nama gedung, perumahan, badan usaha, iklan, dan lain-lain yang terpampang di area public harus diganti dengan bahasa Indonesia. Tidak sedikit papan nama yang dicoret menyilang sebagai tanda bahwa hal itu melanggar aturan kebahasaan. Yang menjadi pertanyaan, ketika undang-undang kebahasaan sudah dibentuk, mengapa justru penerapan hukumnya menjadi sangat lemah? Mengapa pemakaian istilah/kata/bahasa asing di area publik yang berbadan hukum Indonesia seakan dibiarkan tanpa kendali?
Pasal yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia sebenarnya sudah sangat tegas. Antara lain pasal 36. Bunyinya; (I) bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia; (2) nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi; (3) bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia; serta (4) penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Dinamis
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang terus berkembang secara dinamis. Bahasa tidak dapat musnah, tetapi akan berubah bentuk dari waktu ke waktu. Perubahan itu dapat menyangkut sistem tata bumi, tata kata, tata kalimat, serta maknanya. Elemen-elemen bahasa dalam perkembangannya dapat berkurang bertambah, atau mengalami pergeseran karena berbagai pengaruh. Hal itu terjadi pula dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Bahasa berkembang melalui dua cara, yaitu secara alamiah dan rekayasa. Perkembangan bahasa secara alamiah sangat bergantung pada masyarakat pemakai bahasa. Arah perkembangan bahasa disesuaikan dengan kebutuhan sebagai sarana komunikasi dan alamiah. Tidak ada yang harus disesali ketika sebuah bahasa berubah karena tidak lagi didukung oleh masyarakat pemakainya.
Dibentuknya undang-undang kebahasaan serta badan/lembaga/pusat bahasa tentu terkait dengan politik bahasa. Politik itu bertolak dari pemikiran bahwa perkembangan bahasa dapat direkayasa melalui pembinaan dan pengembangan oleh badan yang dibentuk pemerintah. Badan bahasa adalah pihak terdepan dalam usaha rekayasa bahasa. Pelanggaran terhadap undang-undang bahasa seharusnya direspons secara aktif. Badan bahasa tidak hanya bertanggung jawab secara kultural dalam pengembangan bahasa, tapi harus memiliki kepedulian yang lebih besar dalam penegakan hukum kebahasaan.
Rekayasa bahasa mungkin belum dipandang sebagai hal yang mendesak. Fakta menunjukkan, penegakan hukum pada bidang-bidang yang dianggap lebih krusial, kriminal, dan korupsi, misalnya, masih jauh dari harapan publik. Para aparat penegak hukum dan masyarakat mungkin menilai tidak penting pelanggaran bahasa. Pada tahap itulah sosiologi hukum dan filosofinya menjadi penting. Bahasa akhirnya dibiarkan berkembang sesuai nalurinya.
Tampaknya prinsip arbitrer atau manasuka dalam penggunaan bahasa Indonesia masih menjadi factor penting dalam politik bahasa sehingga terjadi ambivalensi antara pembinaan, pengembangan, dan penegakan hukum. Ketentuan undang-undang formal terkait dengan penggunaan bahasa sulit berjalan sesuai hakikat hukum yang bersifat memaksa. Kata "wajib" dalam pasal-pasal yang terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia, dari perspektif pelaksanaannya, tidak lagi memiliki kekuatan. Pada kasus itulah aspek sosiologi hukum menjadi penting karena setiap ketentuan yang ada menjadi tarik ulur dengan masyarakat pemakai bahasa.
Nasionalisme dan Internasionalisme
Undang-undang bahasa menerapkan prinsip nasionalisme sesuai dengan yang termaktub dalam pasal 25 tentang bahasa negara. Hal itu dikaitkan dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi dalam mengemban fungsi untuk kepentingan nasional. Fungsi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan kebanggaan nasional memiliki makna sangat penting dalam membangun identitas bangsa.
Menurut pandangan cultural studies, identitas dipandang selalu berubah dalam sirkuit budaya. Ciri perkembangan bahasa yang bersifat alamiah dan manasuka sehingga selalu berubah menjadi tantangan besar dalam menegakkan nasionalisme bahasa. Prinsip hukum yang bersifat memaksa perlu ditegakkan agar undang-undang bahasa yang ada tidak menjadi macan ompong.
Sementara itu, prinsip internasionalisme juga terdapat dalam pembinaan dan pengembangan bahasa. Artinya, bahasa Indonesia dikembangkan dengan pola-pola mengikuti bahasa internasional. Berbagai istilah dari bahasa internasional, bahasa Inggris misalnya diserap secara sadar agar wujud bahasa Indonesia dapat mendekati sistem bahasa internasional. Dalam politik bahasa nasional, prinsip internasionalisme itu tampaknya tidak dikembangkan.
Dalam menyambut era perdagangan bebas dunia, politik bahasa kita juga menghadapi tantangan besar. Penggunaan bahasa dipandang memiliki pengaruh untuk membentuk citra dan pangsa pasar dunia. Demi citra, gengsi, dan keuntungan, mungkin penggunaan berbagai istilah atau kata untuk menamai sesuatu di area publik akan semakin banyak. Ketegangan antara nasionalisme dan internasionalisme dalam penggunaan bahasa tidak dapat dihindari.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya diri, memiliki identitas kultural yang kuat, dan tetap mengikuti perkembangan dunia luar. Problem bahasa Indonesia tidak hanya menyangkut sisi kebahasaan semata, tetapi masyarakat pemakai bahasalah yang justru lebih menentukan arah perkembangan bahasa Indonesia. Keberadaan undang-undang bahasa bergantung kita, apakah akan kita tegakkan atau kita biarkan menjadi macan ompong. Itulah yang perlu kita jawab dalam menyambut Bulan Bahasa kali ini.
M. SHOIM ANWAR, penulis cerpen dan pengajar sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak