Oleh SUJIWO TEJO
Bagi pegawai negeri yang baru ketompo saringan CPNS seperti Mukiyo, harga iPhone 6 tentu ndak murah. Untung ada rezeki halal, Mukiyo bisa menyenangkan Gombal, anak semata wayangnya. Rezeki halal ditambah gaji pertama plus sisa celengannya dibuntel tas kresek ia belikan "Cupu Manik Astagina" modern itu.
Di masa sebelum Reformasi, Cupu Manik Astagina itu tanda mata Batara Surya ke Dewi Indradi. Ia istri Resi Gotama di pertapaan Grastina. Indradi lalu estafet menghadiahkannya ke putrinya, Dewi Retno Anjani, yang kelak menjadi ibu Hanuman. Dengan cupu itu, Anjani tak perlu klayapan keluar pertapaan sudah tahu seisi dunia, sudah gahol.
"Wah, kalau dengan duduk-duduk lihat isi cupu saja kita sudah bisa dong isi dunia, isi alam raya, laopo sekarang anak yang kurang gahol malah disebut cupu, Mak?" tanya ponokawan Limbuk ke emaknya, Cangik.
"Lha yo embuh, Mbuk. Mestinya tambah cupu, tambah gahol. Tapi, sudahlah. Kita ini memang negeri yang banyak salah kaprahnya. Kata pemerintah yang artinya tukang perintah itu kan juga salah kaprah. Asalnya dari pangreh praja: penguasa yang gawean-nya cuma nudang-nuding main perintah..."
"Lha mestinya istilah untuk Pak SBY dan jajarannya sampai Pak Lurah itu berasal dari kata apa, Mak?"
"Mestinya kita pungut dari kata pamong praja, Mbuk!"
"Lha, kalau pangreh praja itu bahasa Indonesia-nya pemerintah, terus bahasa Indonesia-nya pamong praja itu apa, Mak?"
"Wah, itu tugasnya Pusat Bahasa, Mbuk. Kan sebentar lagi Oktober, Bulan Bahasa? Aku-kowe ini kan mung sakdermo rakyat, yang milih gubernur-bupati-wali kota saja sudah ndak bisa langsung lagi. Yang boleh langsung oleh rakyat cuma belok kiri. Apalagi milih kata-kata untuk pengganti pamong praja, ndak bisa langsung, harus melalui Pusat Bahasa."
"Apa selama ini Pusat Bahasa itu cupu, Mak?"
“Maksudmu cupu yang salah kaprah apa cupu yang sesungguhnya, yang gahol?”
***
Setelah mendapat "Cupu Manik Astagina" modern, Gombal anak Pak Mukiyo yang akrab dipanggil Gombal Mukiyo banyak dikerubungi cewek-cewek. Mereka bertanya ini-itu. Umumnya seputar nasib dan masa depan.
"Mbal, coba lihat di cupumu, apakah benar jodohku orang pajak? Terus, apa benar jadi istri orang pajak itu makmur?" tanya seseorang.
"Mantanmu itu guru?" Gombal Mukiyo balik bertanya.
"Iya, iya, betul. Kok kamu tahu, Mbal?"
"Terlihat di cupu ini barusan, dia sedang mengajar matematika tentang perbedaan 4x6 dan 6x4..."
"Ck ck ck ck... Cupumu dahsyat, Mbal. Eh, Mbal, ancene kenapa kalau aku abis sama guru matematika itu terus dapat orang pajak dari pangreh praja, Mbal?"
"Ya, guru itu akan sangat terpukul. Abis dapat duit pas-pasan kayak dia terus kamu dapat yang dompetnya mowol-mowol... Persis habis pacaran ma tentara terus jadian ma polisi..."
“Tapi apa semua orang pajak kantongnya mowol-mowol, Mbal? Apa semua polisi sugih? Ndak kan? Kalau orang pajak yang jodohku itu yok opo...?”
"Sebentar, Maia, aku cek dulu di cupu ya..."
Saat Gombal Mukiyo mengecek peruntungan Maia, terus berdatanganlah konco-konconya yang lain dengan tujuan serupa. Walau sangat bersemangat, tak satu pun dari mereka ingin memiliki cupu tersebut. Kelihatannya semua sudah diwanti-wanti oleh pamong praja agar tak mengalami nasib serupa dengan Dewi Retno Anjani dan saudaranya Guwarsa serta Guwarsi.
Mereka ngeri kalau tiba-tiba berubah wujud menjadi kera seperti putra-putri pertapaan Grastina itu. Resi Gotama melempar jauh cupu yang jadi rebutan. Wadahnya jadi Telaga Sumala. Tutupnya jadi Telaga Nirmala. Anak-anak pertapaan Grastina yang mengejar cupu sampai ke Telaga Sumala terkena airnya hingga berubah menjadi monyet, walau lebih terkenal.
Ya, lebih ngetop. Guwarsa menjadi Subali. Guwarsi menjadi Sugriwa. Perbandingan keterkenalannya ibarat Guwarsa-Guwarsi itu RUU Keperawatan, dan Subali-Sugriwa adalah RUU Pilkada. Padahal keduanya sama-sama disahkan pada kurun yang sama. Mungkin bagi bangsa ini mencoblos langsung lebih penting daripada kesehatan.
***
Zaman berubah. Parfum yang dulu barang mewah kini masuk dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kaum buruh. Beda zaman memang beda lakonnya.
"Cupu Manik Astagina" modern yang harganya mahal milik Gombal Mukiyo tak diperebutkan, tetapi raib. Mau bilang bapaknya, Gombal takut. Nyalinya sebatas bilang ke ibunya, Bu Mukiyo. Tapi Bu Mukiyo takut juga meneruskan kabar buruk itu kepada suaminya. Akhirnya Bu Mukiyo minta tolong mertuanya, yaitu ibu yang sangat dihormati dan ditakuti oleh Pak Mukiyo.
"Mukiyo," sang ibu kesayangan langsung menelepon anaknya. "Putuku si Gombal itu "Cupu Manik Astagina”-nya hilang. Wis, yang penting kamu sudah tahu kabarnya. Awas, jangan kamu marahi dia... Tanya mana ‘Cupu’-nya itu boleh-boleh saja. Tapi, sekali lagi, jangan kamu gegeri dia..."
Sejak itu setiap Gombal sendirian di rumah, Mukiyo menghampirinya. Rumah mereka tak besar. Tipe 36. Praktis cuma ada ruang dalam halaman depan sedikit dan halaman belakang yang lebih sempit lagi. Setiap Mukiyo nyamperi Gombal di halaman depan, Gombal masuk rumah. Pas Mukiyo nyusul ke dalam rumah, Gombal pindah ke halaman belakang. Tapi tak kunjung bertanya, "Mana 'Cupu'-mu?”
Gaya Gombal saat ciau dari satu ruang ke ruang lain tak selamanya persis gaya orang-orang Partai Demokrat ketika walk out pada sidang paripurna RUU Pilkada, sidang yang konon hasilnya melenyapkan demokrasi pemilihan langsung, melenyapkan hal yang susah-susah dibeli saat Reformasi 1998. Sesekali Gombal walk out dengan cara seolah-olah maju padahal mundur, pleg gaya Moon Walk dari Michael Jackson. Kepala Mukiyo tambah kepradah menyaksikan polah anaknya.
"Aduh ini bagaimana bangsa kita ini? Apa sudah terlalu cupu?" keluh Mukiyo ke istrinya. "Anak yang salah, melenyapkan hal yang susah-susah kita belikan, tapi kok jadinya malah kita yang takut?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak