Oleh ERIE SETIAWAN
Gitar yang selama ini kita kenal adalah gitar yang dipakai untuk mengiringi orang bernyanyi atau gitar sebagai salah satu instrumen yang terdapat pada kelompok band yang kerap kita tonton di televisi. Kita mungkin jarang menyaksikan gitar yang dimainkan secara tunggal (solo) oleh seorang pemain, tetapi sudah menyajikan semuanya: mulai rhythm (iringan), improvisasi yang dimainkan bersamaan dengan iringan, hingga melodi lagu yang -meskipun instrumental- bisa tetap menuntun kita untuk bernyanyi.
Itulah kemampuan Francesco Buzzuro, gitaris dari Sicily. yang pada Rabu malam (24/9) berhasil menyedot emosi dan perhatian 400-an penonton yang memadati Usmar Ismail Hall, Jakarta. Penampilan dengan penonton yang terdiri atas para pencinta musik, mahasiswa, masyarakat umum, hingga para ekspatriat itu berlangsung hampir dua jam. Konser tersebut merupakan kerja sama Italia-lndonesia dan merupakan gagasan Instituto Italiano di Cultura Jakarta.
Seperti tajuk dalam konser itu, The Explorer (Penjelajah), Buzzuro pun membawakan sedikitnya 11 karya dengan banyak gaya dari berbagai negara. Yaitu, Italia (La Danza di Rossini), Spanyol (Granada), Argentina (Libertango), Brasil (Tico-Tico), Meksiko (Cielito Lindo), AS (Amazing Grace dan All of Me), Rusia (Ochi Chernye), Asia (Y Dance), dan Yunani (Horos tou Sakena). Karya-karya tersebut merupakan komposisi yang dia ciptakan sendiri maupun hasil aransemen berbagai lagu populer.
Sesuai dengan tema itu pula garapan artistik/desain panggung pada konser tersebut dihiasi slide gambar yang mengidentifikasikan konteks geografis dan budaya dari masing-masing negara. Konser tersebut bagaikan sebuah pesan perdamaian yang disampaikan melalui musik di tengah segala perselisihan politik dan konflik yang masih terus terjadi di berbagai belahan bumi.
Francesco Buzzuro. yang saat ini berusia 44 tahun, telah merampungkan banyak konser di berbagai negara. "Tetapi, ini adalah kali pertama saya datang ke Asia, ke Indonesia, dan ini merupakan peristiwa sangat penting dalam sejarah karir saya," ungkapnya sebelum memainkan lagu tambahan (encore), yaitu Bengawan Solo, yang digarapnya untuk instrumental solo gitar.
Lagu itu mengalir berbeda dari aslinya, diolah dengan gaya latin jazz, disambut tepuk riuh penonton. Selama ini Buzzuro memang dikenal konsisten mengusung gaya itu, selain etnik lintas negara dan bossanova (tradisi Amerika Latin) –yang juga menjadi influence-nya selama puluhan tahun.
Buzzuro bermain gitar mulai usia kanak-kanak, tepatnya umur 6 tahun. Ayahnya memberikan hadiah berupa gitar dan mengajarinya untuk kali pertama. Kecintaan Buzzuro pada gitar semakin dalam. Dia lantas melanjutkan pendidikan di Conservatorio Bellini di Palermo dan kemudian melanjutkan studinya lebih serius kepada Aldo Minella serta Oscar Ghiglia. Dalam karir selanjutnya, dia sering berkolaborasi dalam berbagai konser besar bersama David Russel, Alberto Ponce, Hopkinson Smith, dan John Duarte.
Eksistensi Gitar Tunggal
Konser itu menarik diamati jika kita mengaitkannya dengan fenomena gitar tunggal di Indonesia. Capaian artistik dari jenis seperti itu memang belum banyak dieksplorasi para musikus kita. Seorang Francesco Buzzuro, yang berlatar belakang studi gitar klasik, memang telah memapankan karirnya pada dunia guitar entertainment, dengan cukup radikal tradisi formal dalam pertunjukan gitar klasik seperti posisi bermain, sound, hingga ekspresi dan gestur.
Jika pada konser musik klasik penonton dilarang bertepuk tangan selama lagu dibawakan, dalam konser ini Buzzuro justru memberikan kewenangan sepenuhnya kepada penonton untuk merespons permainannya sesuka hati. "Silakan bertepuk tangan sesuka kalian. Ini bukan konser musik klasik. Itu justru akan menambah semangat saya," ujar Buzzuro yang langsung disambut tepuk tangan serta tawa penonton.
Dalam kancah gitar tunggal Indonesia, kita mungkin mengenal sosok Jubing Kristianto yang sudah mengeluarkan sedikitnya empat album. Sangat serupa dengan Buzzuro, yaitu mengusung konsep music instrumental gitar yang dibawakan secara solo. Sebelumnya, pada dekade 80-an, ada Michael Gan yang kira-kira mengusung gaya serupa, dengan satu penonjolan utama: aransemen lagu-lagu popular Indonesia. Tetapi, sesudah itu, eksistensi music solo gitar di Indonesia -yang di wilayah entertainment- vakum. Karena itu, di Indonesia, sosok semacam Jubing bagaikan “tanpa saingan”.
Untuk bisa melakukan apa yang dilakukan Buzzuro, Jubing, maupun Michael Gan, memang bukan perkara gampang. Selain harus menguasai teknik permainan gitar dengan baik, dibutuhkan pengetahuan tentang cara mengaransemen lagu ke dalam format solo gitar. Sesudah itu adalah keterampilan di atas panggung yang meliputi public speaking, gestur, ekspresi, dan kemampuan mengomunikasikan bahasa musik kepada penonton. Sekali lagi, itu tidak mudah, namun juga tidak sulit apabila kita memang ingin mempelajarinya.
Pendidikan Gitar
Sudah tentu pendidikan untuk gitar sangat menunjang bagi persemaian musik solo gitar di Indonesia. Jubing sudah banyak berkontribusi melalui klinik aransemen, penerbitan artikel tutorial, maupun buku-buku tentang gitar yang menunjang para gitaris untuk lebih mengeksplorasi aspek kreativitas yang bisa dihasilkan gitar.
Usaha tersebut juga harus didukung SDM di lapis tempat kursus musik, perguruan tinggi musik, serta musisi untuk terus meningkatkankan perhatian, menerbitkan referensi, serta menghasilkan karya yang bisa mendongkrak eksistensi musik yang terbilang masih langka tapi potensial tersebut.
Angan-angan itu memang masih jauh. Tetapi, dari Buzzuro, kita bisa belajar banyak untuk memulainya. Anda yang tidak memiliki kesempatan untuk menyaksikan aksi Buzzuro secara langsung, silakan berselancar ke situs YouTube. Anda akan menemukannya banyak di sana. Siapa tahu itu akan menambah inspirasi dan semangat! Bravo!
*) Musikolog, tinggal di Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak