28 Desember 2014

Sitor, Puisi, Indonesia (Obituari Sitor Situmorang)

Oleh BANDUNG MAWARDI

Sitor, Puisi, Indonesia (Obituari Sitor Situmorang)
H.B. JASSIN dalam sepucuk surat bertanggal 16 Agustus 1950 menulis perkembangan sajak Sitor Situmorang. H.B. Jassin adalah kritikus sastra dan redaktur di pelbagai majalah. Sitor Situmorang adalah pujangga yang sedang menapak ke pengakuan. H.B. Jassin menulis: "Persadjakan sekarang sepi. Mimbar Indonesia sudah dua bulan tidak memuat sadjak. Banjak jang masuk, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa lagi, hanja mengunjah. Madjalah-madjalah lain masih memuat sadjak-sadjak, tapi semua kunjahan." Kabar buruk itu menjelaskan kekhawatiran H.B. Jassin atas perkembangan puisi di Indonesia.

Mengapa surat ditujukan ke Sitor Situmorang? Sejak 1948, Sitor Situmorang resmi masuk gelanggang sastra Indonesia, menggubah puisi-puisi. Bermula dari puisi berjudul Kaliurang, berlanjut ke puisi-puisi berjudul Lereng Merapi dan Perhitungan. Di mata para sastrawan dan kritikus sastra, Sitor Situmorang memiliki kesanggupan memberi arti atas perkembangan puisi. Sebelum Sitor Situmorang, puisi telah dihidupkan Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Sitor Situmorang telah tampil sebagai pujangga tenar, turut mengembuskan napas Angkatan 45.

Kerja sastra semakin kuat sejak Sitor Situmorang mengembara ke Eropa. Di negeri-negeri asing, gubahan-gubahan puisi menguak gairah pujangga ingin memberikan suguhan berbeda kepada pembaca di Indonesia. Sepulang dari Eropa, Sitor Situmorang mendapat surat pendek dari H.B. Jassin, 25 Juli 1953. Kritikus sastra itu menulis bahwa puisi-puisi Sitor Situmorang memberikan kontribusi kepada kesusastraan Indonesia: "... karangan-karangan itu bagi kami tjukup berharga karena hasil perjalanan, petualangan, pemikiran, dan peresapan jang mendjadi matang dalam waktu bertahun-tahun."

Pada masa 1950-an, Sitor Situmorang memang tekun menggubah puisi, mengumumkan ke pelbagai majalah dan terbit menjadi buku berjudul Surat Kertas Hidjau (1953), Dalam Sadjak (1955), dan Wadjah Tak Bernama (1956).

Kita simak puisi berjudul Berita Perjalanan, dimuat dalam buku Surat Kertas Hidjau (1953). Puisi dipersembahkan untuk H.B. Jassin. Sitor Situmorang menulis: Kudjeladjahi bumi dan alis kekasih/ Kuketok dinding segala kota/ Semua menjisih// Keragaman nikmat bebas/ Serta kerdilnja ikatan batas/ Tersisa di tangkapan hanja hampa// Saat memuntjak/ Detik menolak/ Terbanting diri pada kebuntuan// Hati berontak/ Batas mengelak/ Meruah ingin dalam kekosongan.

Sejak pengembaraan ke Eropa, puisi-puisi Sitor Situmorang mengandung “iseng”, eksistensialisme, dan keterasingan. Sitor Situmorang mencatat segala, mencatat diri dalam puisi-puisi.

Kemonceran Sitor Situmorang dalam sastra perlahan mengantar ke petualangan politik. Sitor Situmorang berlabuh ke PNI, menggerakkan Lembaga Kebudajaan Nasional (1959). Berpolitik membuktikan kekaguman dan anutan menapaki garis ideologi Soekarno. Politik memang tidak menghentikan kerja sastra, tapi memberikan pengaruh atas peran sastra sebagai "alat" atau "juru bicara" politik. Sitor Situmorang menghasilkan buku puisi berjudul Zaman Baru (1961).

Kemauan sadar terlibat politik juga menghasilkan kumpulan esai berjudul Sastra Revolusioner (1965). Biografi sebagai pujangga digenapi sebagai orang berpolitik meski mengakibatkan Sitor Situmorang mendekam di penjara delapan tahun. Malapetaka 1965 membuat rezim Orde Baru menimpakan hukuman tanpa pengadilan kepada Sitor Situmorang.

Represi kekuasaan tidak sanggup menghentikan kerja sastra. Pada masa 1970-an, Sitor Situmorang tampil sebagai pujangga "bernama" setelah melampau masa-masa tidak keruan. Buku puisi berjudul Peta Perjalanan (1977) terbit untuk menjelaskan ketakselesaian bersastra. Kritikus dan publik sastra terus memberikan perhatian bag “kelanjutan” pesona puisi dari pujangga berasal dari masa 1940-an. Usia menua, tetapi puisi-puisi terus ditulis dan berkelimpahan. Sitor Situmorang menautkan diri ke masa silam dan situasi mutakhir melalui puisi berjudul Wajah Ch. A. Puisi itu mengandung penjelasan gairah sastra: Dunia rindu arti,/ ingin ditangkap dalam kata/ puisi/ hidup yang nyata... memberi/ dan menerima hidup/serupa polion di ladang/ serupa burung terbang/ di dalam kenyataan/ dan kebebasannya.

Tahun demi tahun puisi-puisi terus ditulis dan terbit menjadi buku-buku berpengaruh bagi perkembangan sastra di Indonesia.

Sitor Situmorang semakin menjadi perbincangan. Pergantian masa pun menempatkan Sitor Situmorang sebagai referensi untuk kesejarahan sastra dan ketokohan dalam episode-episode sastra modern di Indonesia. Pada 1983, Sitor Situmorang menulis esai berjudul Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu, berisi penjelasan tentang diri dan puisi. Esai itu menjadi suguhan ke publik agar bisa menebus penasaran, mengerti gairah dan perkembangan puisi gubahan Sitor Situmorang, dari masa ke masa. Sitor Situmorang mengenang: "Sepulang dari bertualang di Eropa, di pengujung tahun 1953, berumur 29 tahun, saya menjalani sejenis krisis perasaan dan krisis intelektual. Krisis emosional menyangkut antara lain soal cinta, percintaan, dan sebangsanya. Krisis intelektual menyangkut identitas sosial di negeri sendiri." Pengakuan bisa dibuktikan melalui puisi-puisi masa 1950-an.

Pujangga-pujangga baru bermunculan, Sitor Situmorang tetap menulis dan menulis. Puisi-puisi bermunculan di pelbagai majalah dan buku. Sitor Situmorang belum tamat meski usia menua dan teman-teman seangkatannya telah berpamit dari dunia. Sitor Situmorang saat berusia 50-an tahun menggarap otobiografi berjudul Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (1981). Buku merekam diri, sejak bocah di desa (Danau Toba) sampai pengembaraan ke Eropa.

Sitor Situmorang mengakui: “Saya bukan orang mistik, namun dibesarkan dalam alam yang dirasuki mistik pada masa kanak, di mana mitos dan silsilah, silsilah dan mitos adalah anak kembar impian manusia, yang sekaligus menjadi pegangannya."

Usia menua, Sitor Situmorang selalu ingin pulang ke tanah kelahiran, pulang ke alam sejarah dan nostalgia. Puisi-puisi pun mulai mengisahkan tanah asal.

Sekarang, Sitor Situmorang (1924-2014) telah berpamit dari dunia. Kerja telah rampung, tapi puisi-puisi adalah warisan yang tidak terlupakan, mengisahkan pujangga dan perkembangan sastra di Indonesia. Begitu.


Kritikus sastra, tinggal di Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak