30 Agustus 2015

Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue

Oleh. M. SHOIM ANWAR -

Cerpen Jawa Pos: Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue
IRAMA salsa terdengar mengiringi rancak kaki para pedansa. Lantai porselin warna susu tampak kemilau hingga seperti tanpa permukaan.

Kaki-kaki itu menembus batas. Telapaknya saling menyanggah antara yang di atas dan yang di bawah. Mereka memainkan langkah ke berbagai arah. Dan saat kaki itu terangkat nampak ada ruang kosong di antaranya. Gerakan pun memutar dengan cepat membentuk alemana yang enak ditonton. Pantulan itu terlihat agak mengabur, tapi indah dilihat karena membentuk siluet yang makin ke dalam makin meremang. Meski musik mengalun, langkah sepatu masih terdengar bersamaan dengan kaki-kaki itu beradu. Kadang lembut, kadang keras, sesuai dengan tempo yang dimainkan oleh mereka.

23 Agustus 2015

Kutukan Lembah Baliem

Oleh RISDA NUR WIDIA -

Cerpen Jawa Pos: Kutukan Lembah Baliem oleh Risa Nur Widia
DI Lembah Baliem 1, kesedihan adalah darah dan pengorbanan. Kenangan merupakan kepedihaan. Pagi itu, di dalam honai-honai 2 yang lembab, para mama telah berkumpul dan menangis. Sebuah kepergian kembali terulang. Kepergian yang tak pernah menghadirkan kebahagian; selain kesediahan. Sepanjang hari yang muram itu, setiap pasang mata khusuk menekuri mayat seorang pria yang telah meregang tanpa nyawa. Mengenaskan. Tubuhnya koyak-moyak. Darahnya meleleh melumuri setiap lubang luka. Panah masih tertancap gagah di dadanya.

Tidak ada kata. Hanya tangis dan usaha melupakan rasa sedih dengan doa-doa. Panjang. Tabah dipanjatkan. Begitu pun dengan mamamu. Ia terpekur dengan air mata berlinang. Kulit wajahnya yang kecoklatan memudar pucat, dan matanya leleh karena berkabung. Ia juga telah tiga kali jatuh pingsang; mendapati kenyataan kalau seorang pria yang ia cintai meninggal. Tetapi tangis tidak menyelamatkan apapun. Mayat papamu tetap saja tak kembali hidup. Bahkan doa-doa hanya seleberasi pemanis keadaan.

16 Agustus 2015

Ateng

Oleh SUNLIE THOMAS ALEXANDER -

Cerpen Jawa Pos: Ateng
SETIAP KALI melihat anak-anak atau remaja bermain sepak bola di tanah lapang, entahlah, aku selalu teringat pada Ateng.

Ah, bukan. Ia bukan pemain bola dari kesebelasan kampung manapun. Ia cuma seorang bocah kecil penjual es bungkus batangan yang selalu menjajakan dagangannya bila ada anak-anak bertanding bola di lapangan SMP St. Yosef, tempatku bersekolah dulu.

Selain digunakan untuk berbagai kegiatan olahraga, mulai dari sepakbola, senam, atletik, hingga kasti, lapangan rumput yang berbatasan dengan hutan dan kebun milik warga itu juga dipakai untuk upacara bendera setiap hari Senin. Kendati luasnya hanya separo lebih dari Lapangan Hijau--lapangan sepakbola kebanggaan kota kecamatan kami-- tapi itu sudahlah cukup bagi anak-anak SD dan SMP (juga anak-anak sekitar lainnya) bermain bola dengan riang hampir saban sore setelah sekolah bubar. Tanpa alas kaki, sebagian bertelanjang dada.

9 Agustus 2015

Teropong Kan

Oleh MARDI LUHUNG -

Cerpen Jawa Pos: Teropong Kan
Oleh seluruh isi Alam hatimu tak terpuaskan...*

KAN melongo. Tak percaya. Diucek-ucek matanya. Tetap melongo. Apa ini mimpi atau bukan? Sekali lagi Kan tak percaya. Sebab, telur (yang sebesar telur puyuh) yang barusan keluar dari anusnya itu lain. Sesuatu yang bukan basah, bau dan menjijikkan. Tapi, kering, agak bundar, dan indah seperti emas. Emas? Ya, telur itu memang emas. Emas murni. Yang jika ditimbang, mungkin seberat sekian puluh gram. Berat yang aduhai. Berat, yang dijual cepat-cepatan, akan mendapatkan uang kurang lebih sekian ratus juta. Sekian ratus juta? Wah, Kan kembali tak percaya. Untuk apa uang sebanyak itu.

2 Agustus 2015

Tuhan Kecil di Vsyehrad Hills

Oleh ILHAM Q. MOEHIDDIN -

Cerpen Jawa Pos: Tuhan Kecil di Vsyehrad Hills
#1

DI bawah payung besar, di sebuah meja di kafetaria itu, Lavinsky merendahkan punggung di sandaran kursi. Kepalanya terangkat dan menemukan mata gadis itu lagi --dengan kecuraman yang begitu tampak di dalamnya. Kabut yang menyisa tipis di Vsyehrad Hills membuat pandangan terbatas ke arah Jembatan Karluvmost. Ia menutup Umberto Eco dan meletakkannya di meja.

"Kau suka buku? Lavinsky duduk tepat di depannya.

"Tidak!" jawab gadis itu dengan ketus --namanya Lalena.

"Kenapa?"

26 Juli 2015

Blowing in The Wind

Oleh KARTA KUSUMAH -

KINI kau adalah sebuah suara yang keluar dari mulut seorang penyanyi kafe pada pukul tiga dini hari yang lelah: "How many roads must a man walk down before you call him a man?"

Cerpen Jawa Pos: Blowing in the Wind
Kemudian kau terbentur ke lantai yang lembab dan dingin. Tak berkutik beberapa saat sebelum sepasang sepatu dari langkah yang terburu-buru menendangmu, menyebabkan kau terlempar ke kolong meja bernomor empat belas di mana seorang lelaki sedang memandang langit-langit cafe dengan tatapan yang berusaha menunjukkan --pada seekor cicak yang kebetulan berada tepat di hadapan sepasang matanya-- betapa letihnya ia dini hari itu. Lelaki itu menghirup napas dalam-dalam. Kau terbawa ke dalam paru-parunya. Selang beberapa detik, ia mengembuskan napas dengan kuat. Kau terlempar dan melekat di rambut seorang perempuan yang sedang merapikan rias wajah, rambut, dan busana. Ia mematut dirinya di hadapan cermin kecil. Memoles bibirnya dengan gincu merah, menambah tebal bedaknya, dan kemudian menyibakkan rambutnya.