7 Desember 2014

Sinyal-Sinyal Sudamala

Oleh SUJIWO TEJO

Lakon Sudamala
Namanya Semboro. Mungkin karena lelaki jenggotan lebat ini lahir di sana. Itu kecamatan di Kabupaten Jember. Tapi orang-orang lebih akrab memanggil Pak Sembrono. Setiap Pak Semboro, eh Pak Sembrono, bilang, "Aku ini Semboro. Persis nggone pabrik gula di Jawa Timur,” orang-orang ndak percaya. Mereka tetap menyapanya Pak Sembrono sambil mengelus-elus jenggot putih keabu-abuannya.

"Eh Pak Sembrono, Pak Sembrono, cerita dong ke kami bagaimana lakon Sudamala," pinta seorang bocah bersama teman-teman sepantarannya. Mereka ada yang sambil gelayutan di pundak Pak Sembrono. Ada pula yang memeluk-meluk betisnya. Salah seorang bocah mengilikithik pinggangnya.

Pak Semboro cekikikan kegelian. Sembari kuat-kuat menahan cekikikannya yang tak putus-putus karena pinggang dan perutnya diilikithik bocah gemblung, ia bercerita tentang Sudamala.

Sudamala,” kata Pak Sembrono, “adalah lakon ketika Bima ngamuk. Ngamuknya gegara kakaknya, Prabu Yudistira. Raja Amarta ini tidak tanya-tanya lebih dulu padanya untuk memilih Paspamtra. Pasukan Pengamanan Yudistira. Entah dapat bisikan dari siapa, ujuk-ujuk Yudistira sudah dikawal oleh orang-orang yang Bima tak begitu mengenalnya."

Bima kemudian memanggil anak-anaknya dari seluruh matra. Matra udara, matra laut, dan matra darat. Ia memerintahkan Gatutkaca, Antasena, dan Antareja untuk menjajal kesaktian Paspamtra. Tujuannya jelas. Bila terbukti ketiganya keok berhadapan dengan Paspamtra, berarti Yudistira aman. Berarti raja Amarta yang terkenal serba ikhlas lantaran berdarah putih itu akan terlindung dari segala keisengan musuh.

Cerita Pak Sembrono terhenti karena bocah-bocah pada dipanggil oleh bapaknya masing-masing untuk disuapi makan siang.

***

Seperti kenaikan harga-harga, cerita Pak Sembrono pun terus berlanjut. Gatutkaca sudah mencoba kesaktian Bagong Suromenggolo. Itu sore hari ketika anak-anak mulai berkumpul kembali untuk mendengar ocehan Pak Sembrono.

Antasena yang terkenal urakan mencoba kesaktian Petruk Mahendrakusuma. Sedangkan Antareja yang pendiam, diam-diam mengajak duel Gareng Rakasiwi. Ketiga nama-nama tadi bukanlah ponokawan. Mereka adalah pentolan Paspamtra.

Lama-lama para putra Bima dari matra udara, matra laut dan matra darat keasyikan gelut. Mereka lupa pada perintah ayahnya bahwa pertempuran tersebut hanya bersifat fit and proper test. Bukan beneran. Gatutkaca bahkan sempat akan mengecakkan aji-aji andalan yang pernah dia terima dari berbagai gurunya. Brajadenta dan Brajalamatan termasuk aji-aji yang hendak diterapkannya sebelum Bagong Suromenggolo kabur.

Kaburnya Bagong Suromenggolo diikuti oleh ngacirnya Petruk Mahendrakusuma dan Gareng Rakasiwi. Ketiganya tunggang langgang. Karena ketiganya adalah pentolan, ini membuat seluruh Paspamtra bingung. Mereka kocar-kacir sehingga datanglah Hanuman. Ia tokoh incumbent dari Ramayana yang terpilih lagi untuk hidup di dalam Mahabarata dan menjadi semacam polisi di negeri Amarta. Tokoh sekaliber itulah yang kini melabrak putra-putra Bima.

"Wah, perkelahian polisi dan tentara dong, Pak Sembrono?" tanya seorang bocah.

"Ya, ndak tahu," jawab Pak Sembrono. Ia hanya mengatakan bahwa tugas Hanuman di kerajaan Amarta adalah menjaga keamanan. Mirip dengan tugas polisi. Sedangkan tugas para putra Bima menjaga pertahanan. Ini tak lain adalah tugas tentara. "Tapi apakah bentrok antara Hanuman dan para putra Bima itu ibarat bentrok antara polisi dan tentara, ya itu bukan urusan saya," katanya.

Menurut Pak Sembrono, pergulatan antara putra-putra Bima dan Hanuman yang punya segudang pengalaman bertempur dengan para raksasa Alengka itu berlangsung lama sekali. Hanuman bersikukuh bahwa keputusan Yudistira untuk memilih Paspamtra sudah tepat. Pemilihan tak harus melalui pertimbangan Bima.

Ah, bocah-bocah tidak terlalu mengerti penjelasan Pak Sembrono. Tapi mereka tetap asyik mengikuti jalan ceritanya. Mungkin karena mereka tetap terhibur. Mereka selalu cekakakan melihat jenggot putih keabu-abuan Pak Sembrono bergetar-getar setiap kali ia berkata-kata. Kadang ada helai-helai jenggotnya yang gugur melayang-layang, ngleyang kabur kangingan di udara. Apalagi kalau kata-kata itu diucapkan dengan penuh semangat agar bocah-bocah kembali mencintai wayang.

***

Tak tahan melihat geger yang tak sudah-sudah, Arjuna ambil bagian. Penengah Pandawa ini megultimatum Bima agar menghentikan anak-anaknya dari matra darat, laut, dan udara. Sebelumnya Bima memang sudah ingin nyetop anak-anaknya yang sudah kebablasan. Tapi karena cara adiknya meminta itu dianggapnya kasar, Bima menolak. Terjadilah duel antara Arjuna dan Bima.

"Masak ada Bima tawuran dengan Arjuna, Pak Sembrono?" tanya seorang bocah.

"Sssttt... Biar saja Pak Sembrono bercerita. Kita mendengarkan saja...," bela yang lain.

"Tapi lakon Sudamala dari nenekku ndak seperti itu...," bocah lain berseru.

Ya, ini memang Sudamala versi Pak Sembrono. Saat Arjuna hendak melepaskan panah pamungkasnya, Pasupati, datanglah seorang pandita. Ia melerai Arjuna dan Bima yang dua-duanya tampak emosional. "Akhiri saja cekcok ini," kata pandita itu. "Caranya, korbankan si kembar Pandawa Sadewa dan Sadewa Tandingan untuk penguasa iblis Batari Durga. Perpecahan di tubuh negeri Amarta ini gara-gara iblis menyusup ke banyak manusia..."

Bisa jadi karena sedang emosional, Arjuna dan Bima tak mampu berpikir jernih. Keduanya merasa tak perlu tahu latar belakang pandita ini. Apakah dia betul-betul seorang ulama. Apakah dia adalah preman dan jawara suatu dinasti yang berkedok seorang ulama.

Arjuna dan Bima memanggil adik tirinya, Nakula-Sadewa.

Ketika upacara korban akan dimulai. Yudistira muncul. "Kalau memang untuk mengakhiri perpecahan Amarta ini diperlukan korban, biarlah saya yang menjadi tumbal Batari Durga. Aku gantikan adik kembarku Nakula dan Sadewa."

“Kenapa, Prabu Yudistira?" tanya pandita itu.

"Karena lakon-lakon wayang kebanyakan mengorbankan anak-anak muda. Jarang ada lakon pakem pewayangan yang mengorbankan orang tua."

Pandita itu sepakat. Seperti permintaannya, tumbal harus dikurungi dan ditinggal sendirian di tengah hutan.

***

Suatu malam, di sesela gonggong anjing-anjing hutan, tibalah Batari Durga. Perempuan dengan gigi-gigi runcing dan taring yang kuat ini sudah kemecer seperti manusia kalau mengendus aroma belimbing wuluh pada garang asem. Ketika kurungan disingkap, eladalah, ternyata yang bercokol di dalamnya adalah Semar. Ngibrit ketakutanlah sang dewi iblis itu. Teriakannya terdengar sampai ke tujuh gunung.

Semar lalu memanggil ketiga pentolan Paspamtra yang kembali ke wujud ponokawan Garing, Petruk. dan Bagong.

"Lho, kalau nenekku bilang, lakon Sudamala tentang Sadewa yang pintar main pedang lalu meruwat Batari Durga. Setelah diruwat, Batari Durga kembali cantik bagai Cinderella, tidak menjadi iblis lagL..,” bocah yang tadi masih berkukuh tentang neneknya.

"Mungkin karena nenekmu kurang sembrono," kata Pak Semboro dalam hati, ketika bocah-bocah sudah pulang di saat magrib.


SUJIWO TEJO tinggal di www.sujiwotejo.com / www.sudjiwotedjo.com / twitter @sudjiwotedjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak