25 Desember 2014

Ong Menafsir Api Bumi Manusia

Oleh MUHIDIN M. DAHLAN

Ong Hari Wahyu akhirnya melunasi janji: mengeluarkan "buku" seperti yang dimauinya dalam pameran tunggal "Joyo Semoyo: Melunasi Janji" di Bentara Budaya Jogjakarta, 16-24 Desember 2014.

Sebagai pionir seni rupa sampul buku, sudah ribuan sampul yang dibuat Ong. Rupa-rupa penerbit yang memesannya: mulai penerbit rumahan hingga penerbit industri. Semua pesanan itu pun dilayaninya, baik dengan layanan cepat maupun layanan lambat yang membikin si pemesan diliputi rasa waswas.

Puluhan tahun praktik seni rupa dengan medium sampul buku itu dilakoni Ong yang membuatnya menjadi alamat yang ikonik. Terutama sejarah estetika buku di Jogjakarta maupun di Indonesia.

Salah satu ciri khas estetika Ong adalah old-picture. Terutama gambar lawasan kehidupan rakyat jelata dan pembesar-pembesar kolonial. Bahkan, dalam titik ambang tertentu, lawasan menjadi pilihan estetik Ong.

Dengan estetika lawasan, Ong mengemas masa lalu dengan kritik kekinian. Ong pun menggunakan sampul buku sebagai siasat menghadirkan riwayat untuk menghidupkan hayat.

Api Bumi Manusia

Dalam sikap berkeseniannya, Ong menampik menjadi tukang. Dia adalah seniman. Dalam pasal klasik seorang seniman, kebebasan kreatif merupakan harga mati. Ketika menampilkan pameran "Joyo Semoyo”, Ong tidak saja melunasi janji unluk melayani rekanan penerbit yang membutuhkan sentuhan kreatifnya, melainkan juga pameran itu adalah sebentuk maklumat Ong bahwa dari ribuan buku yang sudah dibuatkan selimutnya, dia sesungguhnya terpincut pada beberapa saja.

Ong pun memilih Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer sebagai buku yang paling mengguncang kesadarannya tentang bagaimana menyelami riwayat dan bagaimana bersiasat membangkitkan hayat kini.

Bumi Manusia, bagi Ong, adalah gagasan sekaligus estetika. Empat kotak buku yang terbuat dari kayu pinus adalah siasat cerdik Ong untuk menafsir ulang api Bumi Manusia.

Secara visual, book-art seukuran tabloid itu mirip buku besar yang datang dan masa yang jauh. Namun, ketika buku itu dibuka, kita berhadapan dengan hayat kekinian yang direpresentasikan oleh sabak (iPad) dan denting suara serta gambar peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 yang keluar dari teknologi kiwari itu.

Belum lagi Ong memilih beberapa di antara ribuan kutipan paling penting dan kuat dari roman legendaris Pramoedya itu untuk menegaskan bahwa gagasan yang jernih dan orisinal, walau datang dari lawasan, tetap aktual. Misalnya, kutipan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia di sampul salah satu panel book-art. "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri".

Bagi Ong, gagasan seperti itu tetap hidup, sebagaimana kutipan yang dinukil Ong dari roman Pram yang lain berjudul Gadis Pantai: "Laut tetap kaya. Takkan kurang. Cuma hati dan budi manusia semakin dangkal dan kerdil".

Tapi, Ong bukan pembaca yang hanya tertarik pada gagasan atau isi buku. Selain mengasah kepekaan pada set dan suasana masyarakat yang dihadirkan pengarang, dia mengajak kita percaya bahwa buku-yang-bisa-diraba yang diproduksi arus zaman yang dihadirkan Bumi Manusia adalah kekuatan modern yang melahirkan model masyarakat yang kemudian dikenal sebagai negara-bangsa.

Buku dan terutama barang cetakan semacam koran/majalah merupakan tonggak modernitas yang tidak bisa diabaikan perannya dalam sejarah pergerakan menuju terbentuknya negara bernama Republik Indonesia.

Lima tokoh yang gambar artistiknya dihadirkan dan dipilih Ong secara cermat dan berurutan -Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo, dan Semaun- adalah anak kandung dunia cetak dan menjadikan buku serta benda-benda cetakan sebagai siasat menghadapi kuasa kolonial dengan graffiti nilai diskriminatif yang selalu terpampang di pintu pembesarnya: "Anjing dan pribumi dilarang masuk".

Anjing dan Pribumi dilarang masuk
Kekuatan Buku

Menghadirkan 10 dingklik yang digambari visual ibu (pertiwi), delapan blawong, dan dua patung sosok renta seakan menggiring opini bahwa Ong adalah sejenis seniman purba yang hanya terpesona dengan seluruh tubuh-seni, baik gambar maupun audio, yang datang dari masa lampau.

Namun, kita dikejutkan saat dia menghadirkan sekaligus dalam lawasan itu sabak yang menjadi salah satu pencapaian teknologi terkini dalam medium komunikasi. Lagi-lagi Ong menyentak kita bahwa medium bukan segalanya, namun tidak juga gampang menafikan kehadirannya. Batu, lontar, buku/koran, dan sabak (digital) sudah menjadi takdir sejarah sebagai titian linimasa yang merekam pencapaian-pencapaian kerja budi di bumi manusia.

Sebab, di balik fungsinya sebagai wadak, medium-medium itu menjadi kode untuk melihat sejarah terbentuknya masyarakat: batu (prasejarah), lontar (kerajaan), buku/koran cetak (negara-bangsa), dan sabak digital/elektronik (globalisasi).

Argumen itulah yang menjadi sandaran mengapa Ong percaya betul dengan kekuatan buku yang dicetak. Karena itu, empat kotak kayu Tetralogi Bumi Manusia yang dihadirkan kembali oleh Ong adalah tafsir visual yang unik sekaligus memorandum gagasan untuk membaca nyala api bagaimana kita melewati masa-masa gelap kolonialisme untuk berjudi pada masa datang "menjadi Indonesia” pada era sabak digital kiwari.

Pameran "Joyo Semoyo" karena itu, selain merupakan cara Ong menyampaikan portofolio estetika desain grafisnya kepada publik yang sudah dilakoninya selama puluhan tahun, sekaligus memberi tahu bagaimana roman sejarah Pramoedya Ananta Toer memengaruhi gagasannya untuk membaca riwayat gelap-terang Indonesia dan kuasa hayat melayari hidup masa depan.


Kerani di @warungarsip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak