7 Desember 2014

JIPA Fest 2014: Ngontemporer

Oleh PURWADMADI

Wajah lokalitas tradisi menampakkan rona menyeringai garang tatkala harus menerkam peluang sebentuk ruang pembebasan untuk dan atas nama seni pertunjukan kontemporer. Meski kegarangan itu baru dari wujud "katuranggan" dan belum sepenuhnya luluh termaknakan, sekurangnya telah tidak saja dipersandingkan dengan arus pikir lintas batas, antarbatas, dan tanpa batas, tetapi juga dipersaingkan dengan tarung arus seni pertunjukan kontemporer dari berbagai belahan dunia. Sebuah pertarungan terang benderang, namun terasa kurang menyilaukan. Adem.

Lokalitas tradisi, suatu istilah untuk menyederhanakan penyebutan atas pemanfaatan sumber-sumber inspirasi lokal oleh seniman-seniman Nusantara di tengah perhelatan yang berasumsi sebagai peristiwa antarlintas nasional (jika batas-batas "nasional" itu masih ada) sehingga layak disebut internasional. Letak perdebatannya, ketika "lokalitas tradisi" itu menjadi kekayaan sekaligus kekuatan para creator Indonesia dalam menembus dunia tanpa batas, maka kekayaan dan kekuatan itu ternyata harus ditaklukkan guna kepentingan-kepentingan penetrasi ideologi kontemporer dalam seni pertunjukan. Sumber lokalitas tradisi bisa apa di medan dahsyat pertempuran estetis itu?

Tari Colohok karya Anter Asorotedjo dalam JIPA 2014
Tari Colohok karya Anter Asorotedjo dalam Jogja International Perfoming Arts (JIPA) Festival 26-30 November 2014.

Jogja International Performing Arts Festival (JIPA Fest) 2014 adalah penyelenggaraan kedelapan festival seni pertunjukan kontemporer internasional di Jogjakarta oleh Jaran Production. Untuk kali pertama mendapat dukungan dana keistimewaan lewat Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Helatan besar itu berlangsung pada 26-30 November di gedung P4TK, Sleman.

Seniman seni pertunjukan kontemporer Indonesia tampil di antara kreator dari Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Singapura, Thailand, Meksiko, Spanyol, Irlandia, dan Taipei. Dari Indonesia, muncul sederet nama creator muda. Antara lain, Eko Supriyanto, Boby Ari Setiawan, Windarti, dan Danang Pamungkas dari Solo. Juga ada Anter Asmorotedjo dan Arjuni dari Jogja, Mila Rosinta-Ari Gedex dan Vera Siak (Riau), Ajeng Soelaiman (Jakarta), Kinanti Sekar Rahina (Jogja) dan grup Papermoon Puppet (Iwan Effendi dan Maria Tri Sulistyani), serta FontiCello Rock.

Sejatinya bukan hanya penampil Indonesia yang menyumber pada kekayaan dan kekuatan tradisi lokal. Kamboja (Sophiline Cheam), Taipei (Watan Tusi/TAI Body Theatre), Singapura (Dingyi Music Company), Meksiko (Gnayaw Puppet), bahkan Irlandia (Peter Moran) memainkan komposisi music dengan menggunakan gamelan Jawa sebagai sumber bunyi tafsir dan respons ke-Irlandia-annya. Demikian pula penampil lain seperti Yukiko Komatsu (Jepang), Balen Rubira (Spanyol), Jae Sirikarn Bunjongtad (Thailand), dan sejumlah penampil lain yang berpijak pada "tradisi" sekurangnya tersembul pesona tradisi masing-masing. Selebihnya unggul karena tumbuh suburnya tradisi penciptaan untuk melabilkan "pencapaian estetis terbarukan". Selalu ada "tradisi penciptaan".

"Tradisi penciptaan" untuk menggapai "pencapaian estetis terbarukan" itulah yang dapat memperdalam dan memperluas pemahaman atas tradisi lokal yang lebih sering dianggap dan diperlakukan sebagai kekuatan serta kekayaan "peninggalan" semacam harta karun terpendam. Bicara tentang tradisi sering berbatas pada pemahaman pembongkaran masa lalu serta suka melupakan bahwa hasrat dan gairah "pencapaian estetis terbarukan" adalah tradisi mayor yang layak untuk selalu dipepetri. Upaya tersebut adalah tradisi terbaik yang tidak saja perlu serius diupayakan, tapi juga perlu ritus perayaan sukacita, menjadikannya sebagai persoalan keseharian.

Ternyata tradisi terasa tidak periu dikerangkeng dalam frame lokalitas. Semua punya tradisi, semua punya narasi lokalitas yang nyaman dipersandingkan sekaligus dipersaingkan dalam berbagai macam format pertunjukan. Hubungan tradisi lokalitas dengan format seni pertunjukan kontemporer bukan bersifat diametral berseberangan, bukan sesuatu yang pantas dipertentangkan, tak perlu dipersilangsengketakan karena sejatinya punya relasi linear beriringan. Begitukah?

Persoalannya ada pada kekuatan dan kepekaan kreator dalam memanfaatkan sumbet tradisi saat mengolahnya ke dalam format-format seni pertunjukan di luar format yang biasa dalam kurun waktu panjang melingkupinya. Dua hal penting terkait dengan proses transformasi sumber tradisi lokal, yang spesifik dan berstigma kuat, ke dalam format-format berbeda, termasuk format seni pertunjukan kontemporer.

Pertama, akan berlangsung sebuah proses acak idendtas menjadi sebuah bauran yang terlacak-terkenali. Kedua, "pencapaian estetis terbarukan" tegak lurus masuk ke dalam format yang diinginkan. Artinya, telah terjadi migrasi nyata dari format tradisi semula ke dalam taraf "pencapaian estetis terbarukan". Dikenali, tetapi tidak sebagai sediakala.

Dalam tradisi seni pertunjukan kontemporer, dikenal adanya keterusmenerusan perubahan. Sebab, perubahan adalah keutamaan tradisi. Kreativitas tanpa batas, tanpa henti.

Persoalan ketiga ada pada kekuatan daya olah sumber tradisi dan sumber-sumber penciptaan lain di tangan kreator. Daya olah tidak hanya berbekal kepekaan berseni (sensibilitas) dan kelenturan bereaksi (responsibilitas), tetapi juga diperkuat oleh intelektualitas, referensi, pengalaman, kematangan, dan kedewasaan.

Selain itu, kebanyakan kreator sering merasa cukup hanya sampai pada tahap memproses bahan baku seni pertunjukan (gerak pada tari, misalnya) sehingga hanya berfokus pada produk (karya seni) dan melupakan bahwa sesungguhnya mereka juga harus menjangkau sampai mengolah hati serta pikiran penonton (baca: publik).

Soal menyumber pada "tradisi" dalam JIPA Fest 2014, pencipta tari Indonesia Eko Supriyanto lewat Cry Jailolo yang mengolah tradisi tari rakyat Jailolo Halmahera, Maluku Utara, legu salai, tidak saja mampu melahirkan "pencapaian estetis terbarukan" yang khas mempribadi. Karya itu juga bisa menjadi sihir psikologis bagi penontonnya. Gerak ritmis sederhana terus-menerus sepanjang pertunjukan dalam alir dan alur energi penuh namun terkontrol, lewat komposisi tanpa henti, mengalir penuh daya cekam. Para penari pria telanjang dada, tampak tanpa engah, tetapi justru penonton yang menahan napas dan tersengal-sengal.

Dalam warna dan irama yang berbeda, Boby Ari Setiawan lewat Jago mengangkat tradisi persabungan. Energi maskulinitas petarung membuka ruang pemahaman atas suasana batin penggandrung sabung sebagai pencandu diri. Ada tawaran untuk memperdialogkan fanatisme pada kegemaran hidup dengan kewajaran keseharian.

Hal demikian, meski juga bersumber pada "tradisi" pada Colohok unjuk figur Petruk (Anter Asorotedjo), Donga Drupadi unjuk ritual peristiwa hidup Drupadi (Kinanti Sekar Rahina), Vera Siak Dance dari Riau yang mengangkat sumber penciptaan dalam upacara adat setempat, penonton seperti hadir untuk diperdengarkan kisah-kisah, tidak diberi jalan mudah untuk menemukan titik "pencapaian estetis terbarukan" dalam format seni pertunjukan kontemporer.

Karya kotemporer pada umumnya bisa langsung menjadi rujukan personifikasi penciptanya daripada kebutuhan negosiasi kontekstualitas. Meski demikian, karya-karya kreator Indonesia dalam forum internasional itu layak dicatat sebagai peristiwa penuh kesungguhan dalam mempersandingkan dan mempersaingkan kuasa karya kontemporer mereka di tengah percaturan antarbangsa, antartradisi, menuju kontemporerisasi karya-karya dunia. Jadi, memang tidak sebatas ngontemporer.


PURWADMADI, Pengamat seni-budaya, tinggal di Jogjakarta, pur.purwadmadi@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak