Oleh SUJIWO TEJO
Dusun Kalatida Dusun yang berbunga-bunga. Para perempuannya bercahaya. Lelaki-lelakinya penuh canda di pematang, di gardu-gardu ronda, dan di berbagai tempat di dusun lereng pegunungan itu. Anak-anak berlarian sepanjang hari. Mereka main petak umpet, mengejar layang-layang, mencebur sungai sambil salto-salto lebih dulu di udara, dan masih banyak permainan lainnya. Sejak rupiah anjlok hingga hamper tembus 13 ribu per dolar Amerika, warga dusun itu semringah.
Seperti biasa setiap penurunan nilai rupiah pembuat produk-produk ekspor senangnya bukan kepalang. Barang-barang ekspor dibayar dengan dolar. Bila di-rupiah-kan nilainya jadi munjung bergunung-gunung.
"Itu kan kalau barang-barang yang dikirim ke mancanegara bahan-bahan mentahnya mumi dari dalam negeri, Mak? Kalau bahan-bahan mentahnya impor, Mak?" tanya ponokawan Limbuk.
Jawab Cangik, mamanya, "Lho, produk-produk Dusun Kalatida itu semua bahannya dari dalam negeri, Mbuk. Lha wong yang mereka ekspor itu patung tanah liat. Ada patung Bagong, Gareng, Petruk, dan lain-lain. Kabeh dari tanah liat."
"Oke soal tanah liatnya. Lha, catnya, Mak, dari mana, Mak?"
"Nggak pakai cat impor babar blas. Semua alami. Semua seperti pewarna sebagian batik Lasem, batik Kaliandra... dan lain-lain. Pulasan warnanya dari getah pohon, dari daun-daun..."
"Hmmm... Apa mereka juga mengekspor topi Santa?"
"Betul. Topi merah putih dengan bandulan itu mereka juga bikin. Tapi benang-benang dan pewarnanya semua murni bikinan mereka sendiri. Mbuk..."
"Hmmm... begitu ya, Mak. Tapi, Mak, ngomong-ngomong, Mak, apa memakai topi itu diperbolehkan bagi bukan orang Nasrani.."
"Walah, walah, kalau soal itu aku ndak ikut-ikut, Mbuk. Biar para ahli saja yang ngrembuk hal abot-abot begituan. Yang aku pernah dengar, Santo Nikolas si Sinterklas itu legenda yang tak jelas asal-usulnya. Gambarnya digembar-gemborkan oleh perusahaan minuman raksasa sehingga nempel di benak manusia sejagat. Tapi sebenarnya itu sudah tidak ada hubungannya langsung dengan keyakinan Kristiani.”
“Maksudmu, Mak?”
“Ya, seperti pemuda Amerika Latin yang kamu idolakan itu. Yang kumisan itu lho, yang pakai baret"
"Che Guevara...?”
"Ya, anak-anak seusiamu sekarang memasang gambar penggemar motor besar itu apa karena suka ideologi sosialismenya? Komunismenya? Atau apalah? Tidak! Mereka ya cuma senang-senang saja. Mereka Cuma merayakan kegembiraan..."
"Jadi, boleh pakai topi Santa, Mak? Ya, misalnya topi yang dibikin oleh orang-orang Dusun Kalatida itu?"
"Wah, itu aku ndak ikut-ikut. Mbuk. Pulangkan saja ke hati masing-masing orang. Lha wong pas Lebaran saja orang-orang loket jalan tol, orang-orang pekerja di mal-mal, apa pun agama mereka, semua pakai kopiah, pakai baju koko, pakai kerudung... Kopiah dan lain-lain itu kan juga bukan simbol Muslim... Itu kan juga cuma adat istiadat di Tanah Melayu.
***
Kabar terakhir, produksi topi Santa dan patung-patung Dusun Kalatida merosot. Keterpurukan ini bukan karena perbincangan Limbuk dan Cangik. Begini ceritanya...
Suatu hari, di tengah riangnya bocah-bocah bermain layang-layang dengan dada terbuka dan kaki telanjang, muncullah seorang begawan dari Dusun Kalabendu. Namanya Tejokumolo. Sang begawan kurus kering itu berhasil menaklukkan hati jutaan umat bahwa hidup sederhana seperti Resi Abiyasa lebih membahagiakan ketimbang hidup mengejar dunia bagai kanak-kanak mengejar-ngejar laying-layang. Ketimbang saban hari bekerja keras untuk dapal membeli patung ponokawan dan topi Santa, sampai tak ada waktu buat merenung serta nglaras maupun leyeh-leyeh mendengarkan gending gamelan Jawa, lebih baik hidup seperti Abiyasa di Gunung Saptaarga.
Sang begawan berhasil meyakinkan orang-orangdi pantai hingga pucuk gunung, bahwa kakek Pandawa itu bahkan nyaris tak pernah turun gunung untuk cawe-cawe turut campur pada konflik-konflik Pandawa dan Kurawa. Paling banter ia hanya menerima kunjungan cucu-cucunya, termasuk kunjungan penasihat cucunya, Prabu Batara Kresna.
Jutaan manusia cepat tersedot oleh gambaran-gambaran Begawan Tejokumolo tentang Resi Abiyasa. Itu Cuma dalam tempo yang rasanya lebih cepat daripada waktu yang diperlukan Syahrini buat berdandan. Tentang kebersahajaan Abiyasa. Makan hanya bila sangat perlu makan. Minum hanya bila sangat perlu minum. Tidur hanya bila betul-betul angop-nya sudah selebar kuda nil. Seluruh yang didambakannya hanyalah hidup abadi setelah kehidupan fana di mayapada.
Sangat indah. Sangat tenteram...
Tapi, lama-lama, minat belanja pun sirna. Banyak dusun yang bangkrut karena produk-produknya tidak ada yang beli. Mal-mal menjadi sarang laba-laba. Sopir-sopir angkutan kota menganggur karena semua orang malas bepergian. Pergi ke mal saja malas, apalagi pergi ke kantor-kantor.
Tikus-tikus banyak yang mati menderita obesitas, kegemukan, karena sawah-sawah tidak terlalu banyak yang dipanen. Manusia hanya makan nasi secukupnya. Tak ada lagi penyiksaan pembantu rumah tangga. Semua majikan jadi malas untuk menyiksa siapa pun. Semua orang lebih senang menyiksa diri sendiri, misalnya dengan cara males beli-beli barang, termasuk barang-barang ekspor dari Dusun Kalatida.
***
Keadaan dunia yang tampak hampir kiamat itu sedikit tertolong. Muncul pandita baru dari Dusun Kalasuba. Namanya Begawan Tejokusumo. Kumisnya separo putih lebat bagai sinterklas, separo hitam lebat bagai Che Guevara. Di mana-mana, siang dan malam hari ketika barisan pohon-pohon nyiur Cuma tampak siluetnya, begawan yang gemuk dan pipinya tembem itu mengajarkan pentingnya berpakaian bagus, makan enak, tidur nyenyak, dan menghadiri perhelatan.
Begawan tambun itu selalu mencontohkan kehidupan adik tiri Abiyasa, yaitu Citranggada. Raja Astina yang berhasil menaklukkan berbagai kerajaan seperti Cedi, Magada, dan lain-lain. Kerajaan tangguh ini hidupnya penuh gairah. la bekerja dan bermain-main bagaikan kumbang yang mengisap saripati kembang, seolah-olah hidup di dunia ini kekal adanya.
Dusun Kalatida kembali bangkit.
"Seneng, dong..." ujar Limbuk ketika suatu hari berbincang-bincang lagi dengan mamanya, Cangik.
"Iya, Mbuk. Seneng. Saking seneng-nya mereka mabuk-mabukan. Penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga juga kembali marak. Patung ponokawan dan topi Santa makin banyak diproduksi, sama halnya dengan baju-baju koko kalau menjelang Lebaran... Produksi banten untuk upacara-upacara lain juga semakin menghidupi banyak orang karena harga jualnya mahal. Tapi pejabat-pejabat yang punya rekening gendut juga makin seabrek..."
"Apa Begawan Tejokusumo sudah tidak bisa menasihati mereka, Mak?"
"Sudah angkat tangan, Mbuk. Dia Cuma bisa kaget sambil makan lontong balap. Kaget, kok manusia kebablasan dalam menyerap ajarannya. Nasihat-nasihatnya setelah itu sudah tidak digubris lagi, seperti Citranggada tak menggubris nasihat gurunya, Bisma."
"Nek gitu kenapa nggak muncul lagi Begawan Tejokumolo dari Dusun Kalabendu negeri Nusa Kencana?"
"Itu bagus, Mbuk. Tapi apa kamu siap jika nanti pasar-pasar kembali jadi sarang laba-laba, padi-padi kembali tak ada yang memanen dan tikus-tikus mati kegemukan... Yok opo?"
SUJIWO TEJO tinggal di www.sujiwotejo.com / www.sudjiwotedjo.com / twitter @sudjiwotedjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak