16 November 2014

Mega Mendung di Kepala Fitri

Mega Mendung di Kepala Fitri - Ruang Putih

Oleh FANNY CHOTIMAH

Dua penari lelaki bergerak di atas jembatan rangka dari besi. Tubuhnya terlilit kain merah marun. Di bawahnya tujuh penari berkerumun berkostum serba putih. Setiap penari berdiri di atas wajan. Mereka menggerakkan kedua kakinya di atas wajan itu. Suara debur ombak terdengar riuh.

Koreografer Fitri Setyaningsih kembali mempresentasikan work in progress berjudul Mega Mendung yang bertempat di Teater Arena Taman Budaya Surakarta pada 5 November. Menurut catatan produser Helly Minarti, Mega Mendung terinspirasi oleh motif batik mega mendung yang menjadi ciri khas Kota Cirebon. Fitri menelusuri sejarah dan makna di balik motif itu, menghubungkan mitologi lokal, tuturan sejarah, dan narasi-narasi historis yang melingkupinya. Berbekal penelusuran di Cirebon, Rembang, dan Lasem, Fitri merajut dan mentransformasi imaji-imaji visual serta lanskap alam ke dalam bahasa koreografinya.

Sejarah motif mega mendung selalu mengarah pada sejarah kedatangan bangsa Tiongkok ke wilayah Cirebon. Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon pada abad ke-16 menikahi Ratu Ong Tien dari Tiongkok. Beberapa benda seni yang dibawa dari Tiongkok berupa keramik, piring, dan kain berhias bentuk awan. Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Ratu Ong Tien menjadi pintu gerbang masuknya budaya dan tradisi Tiongkok ke Keraton Cirebon. Para pembatik keraton lalu menuangkan budaya dan tradisi Tiongkok ke dalam motif batik yang mereka buat, tetapi dengan sentuhan khas Cirebon. Jadi, ada perbedaan antara motif mega mendung dari Tiongkok dan yang asli Cirebon. Misalnya, pada motif mega mendung Tiongkok, garis awan berupa bulatan atau lingkaran, sedangkan yang dari Cirebon berbentuk garis awan cenderung lonjong, lancip, dan segitiga.

Dalam karyanya, Fitri berusaha menangkap roh dan menginterpretasi ulang penciptaan mega mendung. Karena itu, kita menyaksikan rangka jembatan seperti di pelabuhan, suara debur ombak, sorot lampu berwarna biru yang menguatkan nuansa laut, dan asap yang membuat kabut. Fitri masih setia dalam mencari bentuk "tubuh" tari yang baru, gerakan tari yang berangkat dari gerakan kehidupan sehari-hari seperti berjalan, menggeleng, berjongkok yang menjadi gerakan khas Fitri. Begitu pula properti pendukung, benda-benda yang dekat dengan lingkungan keseharian kita seperti wajan, sumbu kompor, dan beras merah.

Penari-penari itu bergerak masing-masing, saling melewati satu sama lain, lalu tiba-tiba seorang penari tergugu, badannya gemetar seperti dirasuki kehampaan yang menusuk-nusuk tulang hingga penari yang lain mendekati untuk menenangkan. Dia pun kembali tenang, begitu seterusnya fenomena itu seperti saling menular. Sehingga pada akhirnya, tidak ada orang lain lagi yang bisa menenangkan selain diri kita sendiri. Kehidupan dengan segala ambisi dan hiruk-pikuknya terkadang membuat luka. Hubungan personal dan interpersonal pun kadang dicemari kepentingan-kepentingan duniawi. Setelah fase "kesakitan" para penari itu kembali berkumpul, lalu saling memandang satu sama lain, tersenyum, seolah menyadari kehadiran masing-masing. Mereka seperti tercerahkan dan melanjutkan tahapan selanjutnya, yaitu sebuah transformasi.

Pada proses menuju transformasi, sebuah “ritual” dilakukan, seperti ritual nelayan nyadran, melarung sesajen ke laut. Ritual dalam pertunjukan ini membagikan beras merah kepada penonton. Beras dan laut mungkin saja berangkat dari mitos Budug Basu yang hidup mengakar di Cirebon, mengenai Dewi Sri, sang dewi padi dengan jodohnya Budug Basu, sang raja ikan.

Sebagai seorang kreator, riset sangat penting karena bisa memberikan kedalaman pada karya yang diciptakan. Fitri Setyaningsih memiliki kesadaran itu. Tengok saja proyek Bintang Hening (2012). Dia magang satu bulan di suku Mandar, suku dengan tradisi astronomi lokal yang kuat berdasar kehidupan mereka sebagai nelayan maupun pelaut. Dan Fitri sampai pada kesimpulan bahwa tubuh bukan sekadar objek, melainkan juga media navigasi.

Dalam Mega Mendung menurut catatan Fitri, kita merupakan bagian dari mega-mega itu. Berada di setiap lapisannya. Bersama gumpalan-gumpalan awan putih, kelabu, dan hitam yang menyimpan air dan bakarnya menurunkan hujan. Perubahan terus-menerus seperti cara waktu bernapas. Kostum putih yang dikenakan penari bisa saja menjadi simbol kain mori sebelum dibatik. Namun, bisa berarti pula awan (mega), dalam paham Taoisme, bentuk awan melambangkan dunia atas. Bentuk awan merupakan gambaran dunia luas, bebas, dan mempunyai makna transendental (ketuhanan). Perjalanan Fitri sampai pada pencarian spiritualnya.

Sebuah karya tentu saja merupakan sebuah pernyataan sikap kreatornya. Dalam pertunjukan Mega Mendung, Fitri menampakkan diri sebagai seorang perempuan pesisir, berkebaya kembang-kembang, dan mengenakan jarit. Dia tidak menari, tapi menaiki kuda kayu mainan yang bergoyang-goyang. Apakah keseruan ataupun kebudayaan saat ini seperti kuda kayu mainan itu? Tak lagi memiliki roh dan tidak bisa membawa kita lebih jauh. Kita tak ke mana-mana, hanya berlari di tempat.


FANNY CHOTIMAH, redaktur Buletin Sastra Pawon Solo dan kurator Festival Film Solo (FFS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak