Oleh ADRIAN PERKASA
Orang tidak asing lagi dengan nama Majapahit. Sebuah kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara pada abad XIII-XVI. Dari kebesaran yang dituliskan para pujangga, sastrawan, sampai para sarjana tentang Majapahit, saat ini di sekitar kita banyak dijumpai istilah yang berbau ke-Majapahit-an. Mulai penggunaan simbol-simbol negara seperti Bhinneka Tunggal Ika, Bhayangkara, bahkan penamaan hotel ternama di Surabaya. Tidak heran jika kemudian kita membayangkan Majapahit dengan segala kebesarannya pasti memiliki peradaban yang mengagumkan pada masanya, termasuk ibu kota tempat raja bertakhta dan pusat pemerintahan.
Sampai sejauh ini, dari hasil penelitian dan dokumentasi para sejarawan, arkeolog, insinyur, serta sarjana lainnya, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya lokasi yang diduga kuat sebagai kota raja Majapahit adalah kawasan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Dari dokumentasi oleh Wardenaar pada 1815, terekam beberapa toponim yang meneguhkan hal tersebut. Kita masih bisa mendapati istilah semacam kedaton, siti inggil, dan lainnya yang merujuk pada bagian-bagian dari sebuah istana. Dokumentasi Wardenaar itu tercatat merupakan dokumen modern pertama yang berupa peta kawasan Trowulan dan sekitarnya. Wardenaar diutus atasannya, Thomas Stamford Raffles, letnan gubernur jenderal Inggris yang berkuasa atas Jawa saat itu.
Pada masa tersebut, Wardenaar hanya melihat reruntuhan bangunan yang masif dan merata di hampir semua kawasan Trowulan. Kota raja yang dulu Berjaya dan bahkan dikagumi beberapa pengunjung bangsa Asia dan Eropa itu telah menjadi belantara hutan jati. Hanya ada belasan rumah di sekitar kompleks Kedaton yang penduduknya merupakan juru kunci tempat tersebut. Yang dilihat Wardenaar tersebut kini kondisinya bahkan lebih buruk. Jika dia masih bisa menyaksikan puing-puing bangunan yang mayoritas terbuat dari batu bata merah di antara hutan jati, kini yang bisa kita saksikan hanya beberapa monumen yang terpelihara dan terawat dengan baik. Tidak salah jika terdapat seseorang atau kelompok yang menyangkal bahkan menyangsikan kebesaran Kerajaan Majapahit.
Festival Trowulan Majapahit
Ternyata, pertanyaan tersebut muncul tidak hanya di benak saya, melainkan juga mereka yang kemudian terlibat dalam kegiatan yang bertajuk Festival Trowulan Majapahit, 7-22 November 2014 ini. Pada mulanya, saya pribadi datang dan berkunjung ke Trowulan hanya karena diajak keluarga yang kebetulan sering melintasi jalan raya Surabaya-Jombang, lokasi kawasan Trowulan. Yang saya baca di buku pelajaran mulai SD hingga SMA tentang kebesaran Kerajaan Majapahit saya pikir hanya bualan belaka. Hal yang wajar bagi anak kecil yang membayangkan sebuah kerajaan dengan istananya setidaknya seperti Jogjakarta atau Surakarta dengan keratonnya.
Hingga kemudian, ketika menempuh pendidikan di universitas, saya mendapat kesempatan untuk menguji tentang kebesaran Kerajaan Majapahit melalui disiplin ilmu yang saya tekuni. Ketika berada dalam proses inilah, saya kemudian tersadar bahwa terdapat berbagai permasalahan kompleks sehingga kondisi kawasan Trowulan menjadi seperti saat ini. Salah satu masalah yang menahun adalah kesenjangan di antara para sarjana, aparat pemerintahan, pengusaha, dan masyarakat yang sehari-hari tinggal bersama peninggalan Majapahit yang tidak terhitung jumlahnya itu.
Para sarjana, khususnya mereka yang berupaya mengungkap masa lalu kawasan tersebut, menyesalkan minimnya kesadaran masyarakat untuk merawat dan melestarikan peninggalan Majapahit. Dari sudut pandang pemerintah, terdapat beberapa lapisan pemerintahan di sini, pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa. Masing-masing memiliki pemahaman sendiri akan bagaimana mengurus kawasan tersebut selaku pihak yang berwenang. Pengusaha yang notabene memang melihat sesuatu dari segi profit yang akan didapat tentu melihat potensi kekayaan alam yang terkandung di Trowulan dan sekitarnya sangat menjanjikan.
Apalagi dengan absennya aturan yang jelas tentang pemanfaatan kawasan tersebut, tentu saja mereka memandang kawasan itu sama dengan tempat lainnya. Masyarakat sudah bosan dengan janji-janji manis bakal meningkatnya taraf hidup mereka dengan datangnya para wisatawan di Trowulan. Apalagi mereka sudah bosan menjadi objek penelitian tanpa mengetahui apa dan pentingnya peninggalan purbakala di sekitar mereka.
Rupanya, pertanyaan yang sama, ada apa dengan Trowulan tadi, juga menggelayut di masing-masing pihak. Mereka ternyata juga menyadari kebesaran Majapahit, bahkan sepakat melestarikan kekayaan peninggalan Majapahit yang masih tersisa. Namun, belum ada upaya nyata untuk menangkap dan menindaklanjutinya. Akhirnya, masing-masing pihak tetap sibuk dengan urusan dan kepentingan sendiri. Hingga kemudian, datanglah momentum, pendirian pabrik baja di Trowulan.
Polemik pendirian pabrik baja yang memancing pro-kontra itu berlangsung sejak pertengahan tahun lalu. Warga kawasan Trowulan umumnya bergabung dengan kelompok yang menolak pendirian pabrik baja. Namun, tidak sedikit juga yang mendukung pendirian pabrik baja dengan alasan pembukaan lapangan kerja maupun alasan lainnya. Warga yang menolak pabrik baja kemudian menggulirkan sebuah gerakan yang awalnya sebatas tingkat desa, kemudian menggelinding bak bola salju ke tingkat regional, bahkan internasional. Gerakan warga itu benar-benar memiliki daya gentar yang luar biasa sehingga polemic pendirian pabrik baja menarik perhatian banyak kalangan ke Trowulan. Perjuangan penolakan oleh warga yang tidak kenal lelah dan rasa takut tersebut berujung pada penghentian pendirian pabrik baja di sana.
Ternyata, berhentinya pendirian pabrik baja bukanlah ujung gerakan tersebut. Warga Trowulan dan pendukung gerakan itu memilih melanjutkan momentum tersebut dengan berupaya mengaktualisasikan jawaban atas pertanyaan yang menggelayut itu dengan berbagai cara. Salah satunya, merayakan peringatan Hari Jadi Ke-721 Majapahit dengan mencetuskan Festival Trowulan Majapahit 2014. Gagasan itu diharapkan bergulir rutin tiap tahun dan menjadi semacam ikon baru Trowulan.
Jika boleh jujur, awalnya saya termasuk yang merasa bahwa gagasan penyelenggaraan festival itu kurang tepat sasaran bila kita berbicara pelestarian pusaka (heritage) Kerajaan Majapahit di kawasan Trowulan. Masih banyak situs yang memerlukan penanganan segera, mengingat tiap detiknya pasti ada perusakan-perusakan karena berbagai faktor. Namun, selama masa perencanaan, persiapan, hingga bergulirnya pembukaan kegiatan tersebut, terdapat suatu hal besar yang ternyata bisa menjembatani masing-masing pihak yang selama ini sibuk dengan urusan dan kepentingan sendiri. Sesuatu tersebut merupakan nilai besar yang menurut Ir Soekarno merupakan perasan inti Pancasila, yakni gotong royong.
Dengan semangat gotong royong, dapat dilihat para sarjana dan peneliti tidak lagi hanya berkutat pada penelitiannya, melainkan juga melebur ke dalam objek penelitian selama kegiatan. Berbagai pihak di luar Trowulan, entah itu seniman, pengusaha, budayawan, maupun pegiat pelestarian pusaka, dengan senang hati menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun materinya untuk mendukung terselenggaranya festival itu.
Warga kawasan Trowulan yang merupakan titik tolak bergulirnya festival tersebut tidak kalah bersemangat bergotong royong. Ada kelompok seniman local yang giat menyumbang kesenian yang mereka geluti. Tidak heran jika kemudian di dalam kegiatan gelar seni dalam festival itu terdapat kesenian semacam bantengan dan jaran kepang yang kemudian bersanding dengan para maestro tari serta musik kaliber internasional. Mereka yang sehari-hari beraktivitas sebagai perajin patung batu, logam, dan terakota juga menyiapkan sebuah pasar seni yang khas warga setempat.
Semangat gotong royong itulah yang merupakan pusaka leluhur kita yang tak ternilai dan harus terus dilestarikan. Jika semangat ini terus terpelihara dan terawatt dengan baik, bukan mustahil kejayaan Nusantara akan datang. Bukan pula suatu kepercayaan mistis atau berbau klenik jika janji Sabdo Palon dan Naya Genggong pada titik kritis Majapahit musnah akan kembali 500 tahun kemudian ternyata bertepatan juga dengan bonus demografi yang akan didapat bangsa ini beberapa tahun ke depan.
Dengan kegotongroyongan inilah sebenarnya pertanyaan ada apa dengan Trowulan tadi bisa dijawab, setidaknya bagi mereka yang terlibat dalam festival ini.
ADRIAN PERKASA, sejarawan, penulis buku “Orang Tionghoa dan Islam di Majapahit”, kurator Festival Trowulan Majapahit 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak