5 Juli 2015

Pulang

Oleh ADI WICAKSONO -

Cerpen Jawa Pos: Pulang
IBU menelepon mengabarkan bahwa adikku Hanum sudah mendapatkan jodoh, Baskara namanya, seorang insinyur yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum, lelaki baik-baik dari keluarga baik-baik.

Bagiku ini sebuah kejutan. Bagaimanapun Hanum adalah perempuan yang sulit didekati laki-laki, sehingga agak sulit pula mendapatkan jodoh. Beberapa kali ia menjalin hubungan dengan laki-laki, tapi kemudian mereka lekas menjauh setelah mengetahui watak Hanum yang lugas, kritikal, bahkan terkadang agak sinis. Tapi, setiap kali putus hubungan, Hanum cuek saja dan seolah tidak ambil pusing.

Ia bilang ia tidak mau sembrono memilih suami. Ia tidak menginginkan perkawinan yang membawa sengsara. Perkawinan adalah suatu deal yang dibuat secara bebas. Suatu kesepakatan yang demokratis dan egaliter. Masing-masing harus mampu memikul kewajiban dan tanggung jawab sebaik-baiknya. Begitu ia selalu berkata.

Dan agaknya, dari sekian laki-laki yang pernah dekat dengannya, belum ada yang memenuhi persyaratan semacam itu. Ini yang membuat ibu semakin cemas. Sementara umurnya terus bertambah. Ia sudah menyelesaikan S2 Filsafat (yang ia sebut sebagai sekolah kelangenan lantaran dunia yang ia tekuni adalah manajemen), dan juga sudah bekerja di sebuah bank dengan gaji lumayan. Jadi tidak ada alasan buat menunda-nunda kawin, apalagi ia anak perempuan, begitu ibu selalu berkata. Dan sedap kali Ibu mendesaknya, ia hanya berlenggang pergi sambil tertawa.

Pernah aku memperkenalkan seorang teman, tentu setelah berkali-kali dibujuk ibu, membawanya menginap di rumah dengan alasan yang kubuat sewajar mungkin. Tentu saja Hanum tersinggung berat karena menurutnya kami telah kelewat gegabah mengambil kesimpulan bahwa ia tidak dapat mencari jodoh, ia menghujatku habis-habisan. Ia bilang bahwa aku tak layak menaruh iba padanya karena justru akulah yang harusnya dikasihani. Akulah yang musti menengok tengkuk sendiri karena dilihat dari segi umur aku sudah sangat telat menikah. Ia bilang aku sok bijak, padahal dengan sikap itu aku justru tampak menyedihkan, naïf, konyol, dan sebagainya dan sebagainya. Ia benar-benar murka.

Dan setelah kejadian itu aku malas berurusan dengannya. Sesekali ia masih menulis e-mail dan bilang jika memang tak ada laki-laki yang “patut” dijadikan suami, apa salahnya jika tidak kawin? Siapa takut? Wah, wah, wah.

Aku tidak tahu bagaimana mulanya hingga ibu mengetahui idenya itu. Dan seperti yang kuduga, kemudian giliran ibu yang murka. Benar-benar murka. Sejak itu Hanum tak berani bermain-main dengan ide itu.

Terkadang aku iba juga ketika melihat tingkah polahnya yang sok kul untuk menyembunyikan rasa iri saat menyaksikan kebahagiaan kawan-kawannya yang berkunjung ke rumah bersama suami dan anak-anak mereka yang lucu dan menggemaskan.

Beberapa kali ia bertanya apakah aku tidak berpikir untuk kawin? Tentu saja aku ingin kawin. Tapi sebaiknya kamu pikirkan dirimu. Soalnya kamu perempuan, tak baik kawin telat. Begitu aku menjawab. Dan seperti yang kuduga, ia marah besar. Perempuan? Apa maksud, Mas? Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Mas benar-benar picik.

Karena malas berdebat, aku tak pernah meladeninya. Rupanya ia mengerti sopan santun sehingga ketika menelepon ia hanya bercerita hal-hal remeh tanpa juntrungan. Caranya bercerita begitu kolokan dan manja sehingga membuatku semakin sayang padanya. Ia adalah adikku satu-satunya, gadis kecilku yang cantik, cerdas, kadang nyentrik dan suka bertindak nyeremput bahaya.

Tapi, setelah naik jabatan di kantornya ia kian jarang menelepon. Sementara aku juga terjebak oleh kesibukan yang kian padat, sehingga cukup lama kami tak saling berkontak. Lalu aku pulang kampung dalam rangka acara lamaran adikku itu. Tentu, aku juga pulang pada hari perkawinannya untuk menggantikan peran bapak yang sudah meninggal. Acara perkawinan itu menurutku terlalu gemerlap dan mahal. Tapi agaknya itu kehendak yang tak dapat ditawar dari keluarga Baskara dalam mengungkapkan rasa syukur sekaligus pernyataan diri orang yang memiliki “kedudukan” meski dengan cara yang berlebih-lebihan.

Di sela-sela pesta perkawinan itu ibu menarikku ke kamar dan dengan suara pelan serta sungguh-sungguh, ia bertanya: “Kapan kamu menikah?”

Tanpa sadar aku menggeleng. Ibu juga.

Memang, sejak Hanum menikah, aku selalu jadi sasaran keprihatinan famili-famili. Mereka selalu bertanya kepada ibu kenapa aku tak juga menikah. Dan ibu terus berupaya memberi penjelasan yang dapat diterima nalar orang biasa. Dan setelah mendengar penjelasan ibu, mereka biasanya akan mengatakan bahwa pada saatnya aku pasti akan menikah. Mereka mengatakan hal itu dengan sikap menyemangati, tapi sesungguhnya mengandung nada keprihatinan yang sangat dalam. Maka, ketika ibu mengajukan pertanyaan itu, dadaku benar-benar sesak. Dan semua terasa kian menyesakkan ketika Lebaran tiba.

Maka, saat mudik, kuterima usul Mas Ton untuk membawa Ndari, gadis sekantor yang tabiatnya tak jauh beda dengan Hanum. Bagiku ide itu agak gila juga. Tapi Ndari berkata, daripada susah menjawab pertanyaan tamu-tamu yang datang berlebaran, juga untuk menggirang-girangkan hati ibu, ide itu layak dicoba. Ndari juga tidak keberatan jika harus memerankan diri sebagai seorang calon istri yang “baik dan benar” serta calon menantu yang sopan, lembut, ramah dan supel, tahu sikon, merak ati. Ia yakin dapat memainkan peran itu dengan sempurna sehingga akan membuat calon mertua jatuh hati.

Entah bagaimana juntrungannya hingga akhirnya ibu benar-benar jatuh hati kepada Ndari. Tapi, entah bagaimana juntrungannya pula Hanum mencium akal bulusku itu. Setelah aku kembali ke Jakarta ia menelepon, tentu untuk menghujat perbuatanku yang menurutnya kurang senonoh itu. Ia bilang aku benar-benar tidak tahu belas kasihan dan tak punya hati karena menipu ibu, mempermainkan orang tua. Aku adalah anak durhaka, pengecut, kampungan, dan sebagainya dan sebagainya. Awas, kuwalat!

“Tapi, boleh juga sih, Mbak Ndari itu. Dia perempuan dalam arti sebenar-benarnya perempuan. Cantik, cerdas, punya pendirian, mandiri, supel dan tidak sombong.”

Pokoknya Hanum juga jatuh hati kepada Ndari. Dan Ndari hanya ketawa enteng ketika kuceritakan semua itu, lalu bertanya ringan: “Lalu gimana?”

Gimana apanya?”

“Maunya Mas gimana? Mau apa enggak ngawini aku?”

Aku kelabakan. Teman-teman kantor tertawa ngakak.

“Kalau Mas mau, aku oke-oke saja, kok. Di mata calon mertua dan Hanum, aku kan sudah lulus fit and proper test. Jadi mau apalagi?”

“Lalu aku gimana, dong?” timpal Rudi, setengah serius setengah bercanda.

“Telat. Kurang cepat. Enggak jelas. Maju mundur kayak mobil mau parker,” sahut Ndari dengan ringan.

“Iyalah, Dik. Tinggal tentukan harinya saja. Kita semua sudah siap dengan kontingen lengkap. Ya, kan, Saudara-saudara?” kata Mas Ton yang segera disambut yel-yel yang lain.

Mereka meledekku habis-habisan hingga entah bagaimana aku jadi murka. Mereka semua sangat terkejut. Tak terkecuali Ndari.

Tapi pada suatu kesempatan makan berdua di kantin kantor, tiba-tiba Ndari bertanya dengan nada bersungguh-sungguh: “Jadi, Mas enggak tertarik sama aku ya? Maksudku, apakah enggak sebaiknya kita coba. Maksudku, enggak ada salahnya kan, kalau kita saling menjajaki? Maksudku...”

Aku diam saja. Dan dengan nada sedikit jengkel ia berkata; “Benar kata Hanum...”

Dan sebelum aku sempat menanggapi, Ndari sudah berlalu dengan senyum yang menurutku agak meremehkan.

Oh, rupanya, mereka sudah berkomplot. Oke. Oke.


***

Pada Lebaran berikutnya aku mudik tanpa Ndari. Ibu dan Hanum tampak menahan diri untuk bertanya ihwal Ndari, dan aku pun tak membuka peluang untuk membuka pembicaraan soal itu.

Malamnya, di tengah kegembiraan yang melimpah dan riuhnya tamu-tamu yang berdatangan, dengan wajah berpendar-pendar, tiba-tiba Hanum mengumumkan bahwa kami akan pindah ke rumah baru. Para sanak famili segera berebut menyalami ibu untuk mengucapkan selamat. Ibu sekilas menatapku, dan entah kenapa aku mendadak membuang muka lalu menunduk.

Setengah berbisik ibu menjelaskan bahwa keputusan pindah ke rumah baru itu lantaran desakan Hanum dan Baskara yang bertubi-tubi. Rumah baru dengan halaman yang luas itu telah dibeli oleh Baskara. Menurut ibu, rumah yang sekarang sudah terlalu bising oleh padatnya permukiman dan udaranya tidak bagus lagi.

“Kamu tidak usah khawatir. Ini kan rumah warisan bapak. Rumah ini tidak akan dijual. Nanti dijadikan kos-kosan saja,” ibu menambahkan.

Malam itu Hanum juga mengumumkan bahwa dirinya bersama Baskara dan ibu segera berangkat naik haji. Para tamu segera berebut menyalami ibu sembari mengucapkan syukur dan puji-pujian kepada Tuhan. Ibu gugup menyambut limpahan segala restu dalam kegaduhan itu. Sekali lagi, ibu sekilas menatapku, dan aku kembali membuang muka.

Malamnya, ibu menjelaskan bahwa keputusan naik haji itu lantaran desakan Hanum dan Baskara yang bertubi-tubi. Ya, ya, ya. Aku tahu, sudah lama sekali ibu menyimpan niat itu, bahkan semenjak bapak masih hidup, meski kemudian hanya tinggal cita-cita belaka karena memang tidak pernah berhasil mengumpulkan uang untuk membayar ONH.

Semua orang tahu, setelah bertahun-tahun menjadi guru di sekolah dasar desa, kesuksesan bapak dimulai dengan pembelian sepeda merek Gazelle warna hitam yang setiap hari digosok hingga mengkilap dengan semir Kiwi. Beberapa tahun kemudian bapak menukar-tambah sepeda itu dengan sepeda merek Humber (kuncen) hijau daun yang berbunyi cik-cik, dan entah bagaimana asal mulanya, sepeda itu kemudian dilego, dan setelah ditambah dengan uang penjualan sebidang tanah, Bapak berhasil membeli sebuah vespa warna hijau.

Bapak kemudian mengajukan pensiun dini lalu mulai berdagang hasil bumi. Dengan vespanya, bapak mondar-mandir hingga kota-kota yang jauh, sering selama berhari-hari.

Orang harus bekerja keras, demikian bapak berkata setiap pagi saat memanasi mesin vespanya. Dan itu terbukti. Aku dan Hanum berhasil merampungkan kuliah lantaran kerja keras bapak. Ketika usaha dagang sedang bagus-bagusnya, bapak dan ibu sudah siap-siap naik haji. Tapi tiba-tiba bapak jatuh sakit. Segala upaya ditempuh, semua jenis mengobatan dicoba, tapi tak berhasil. Uang tabungan, tanah dan semua barang berharga tandas untuk biaya pengobatan bapak. Usaha dagang hasil bumi itu juga tamat, tak ada sisa.

Sejak itu ibu sudah mengubur dalam-dalam cita-citanya untuk naik haji. Kebahagiaan dalam mengasuh cucu-cucu, menyaksikan mereka tumbuh, sungguh lebih dari cukup, begitu ibu berkata dengan muka berbinar saat anak-anak Hanum lahir. Dan ketika Baskara diam-diam membayar ONH ibu, sungguh itu sebuah kejutan yang sempurna.

Di tengah kebahagiaan melimpah dan riuhnya tetangga-tetangga yang hendak melepasnya ke tanah suci, dengan wajah berat ibu menarikku ke kamar:

“Ibu benar-benar tidak tahu apa-apa. Semua biaya sudah dibayar oleh Baskara. Sebenarnya aku mau menolak, tapi dia memaksa. Aku minta kamu mengerti.”

Aku tak berkata apa-apa. Dengan suara yang lebih berat dan nada memohon ibu meneruskan kata-katanya: “Kalau kamu punya uang, pakailah untuk menikah. Jangan berpikir macam-macam. Jangan pikirkan aku. Lebih baik pikirkan masa depanmu. Ketika bapak meninggal, kamu belum menikah. Maka, sebelum mati, aku ingin melihat kamu menikah.”

Sekali lagi, aku hanya menunduk, tak dapat menjawab permintaan ibu. Ibu berkata bahwa ia akan berdoa di Multazam agar aku segera menikah. Ibu yakin doanya akan terkabul. Aku mengangguk sembari mengucapkan terima kasih.

Saat itu aku benar-benar bingung dengan diriku. Seharusnya aku senang ibu berhasil mewujudkan cita-citanya yang sudah begitu lama terkubur. Seharusnya aku ikut menghambur dalam riuh hangatnya famili-famili dan para tetangga yang hibuk selamatan setelah ibu pulang dari tanah suci, dan bukannya mengurung diri dalam kamar, lalu dengan segala dalih buru-buru kembali ke Jakarta. Sementara ibu hanya tersenyum pahit saat aku pamitan sambil mengatakan semoga menjadi haji mabrur.

Ibu tak bertanya lagi ihwal niatku untuk menikah.

Ibu benar, aku harus memikirkan diriku sendiri, ibu benar, jika punya uang sebaiknya kupakai untuk menikah. Tapi ibu juga benar, kenyataannya aku tak punya banyak uang. Gajiku tak seberapa untuk hidup di Jakarta. Aku hanya sanggup mengontrak rumah petak yang tak lekang dari nyamuk dan banjir di daerah Condet. Maka sungguh naif jika membanding-bandingkan diri dengan Baskara. Tapi aku tidak membanding-bandingkan diri. Aku hanya bingung kenapa aku jadi kelewat sensitif. Mungkin karena semakin tua.

“Alaaah. Sama saja. Jangan berbelit-belit. Kamu munafik,” potong Rudi tanpa basa-basi.

“Yang realistis, aja, Bung. Jangan terlalu banyak mimpi. Yang jelas, sekarang, kamu mau melamar Ndari atau tidak. Kalau tidak, sudah ada seorang insinyur yang siap melamarnya. Usianya jauh lebih muda. Brondong yang tajir, gitu loh. Mobilnya BWM seri 5 terbaru.”

Entah bagaimana aku jadi panik. Aku buru-buru menemui Ndari dan tanpa basa-basi mengatakan niatku untuk melamarnya. Ia sangat terkejut dan terperangah.

Tapi, entah bagaimana, tanpa basa-basi pula, Ndari menyatakan menerima. Aku sendiri sangat terkejut dengan keputusan itu. Hingga beberapa hari aku masih belum yakin terhadap apa yang telah aku lakukan. Rupanya Ndari juga demikian. Ia masih bingung kenapa tanpa berpikir panjang langsung menerima lamaranku.

Tapi kami tak hendak memperpanjang masalah. Tanpa membuang waktu kami menyiapkan hal ihwalnya, termasuk menemui ibu tanpa memberi tahu sebelumnya. Tapi tiba-tiba Hanum menelepon tengah malam memberi tahu bahwa ibu jatuh sakit dan masuk rumah sakit. Pada saat bicara di telepon, Hanum menangis sesenggukan. Aku panik. Jangan-jangan waktunya sudah sampai. Aduh.

Esoknya, sesampai di Jogja aku langsung ke rumah sakit, melihat ibu terbaring lemas di ruang Unit Gawat Darurat. Tapi Hanum tak ada di situ. Beberapa famili memberi tahu bahwa ia sedang berada di kejaksaan menemani Baskara yang sedang disidik lantaran terlibat kasus korupsi, lengkap dengan ingar-bingar demo dan berita koran yang cukup heboh. Aku terperangah.

Dan, beberapa bulan kemudian, ketika Baskara menjalani proses persidangan di pengadilan, ibu kembali masuk rumah sakit. Sementara Hamum mengajukan cuti kerja. Selama proses persidangan Baskara, ibu dan Hanum nyaris tak saling bicara. Dan setelah Baskara divonis bersalah, aku pulang kembali dengan membawa Ndari.

Aku menemui ibu yang terbaring lemas. Tubuhnya kering seperti kulit kayu. Matanya redup. Redup dan tua.

Air matanya keluar saat mendengar bahwa aku dan Ndari hendak menikah. Hanum memeluk Ndari cukup lama, lalu pergi membawa tas, rantang makanan dan oleh-oleh lain. Ia hendak membesuk Baskara di penjara. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak