29 Juni 2015

Seni Rupa tanpa Kanvas

Oleh IRAWAN HADIKUSUMO -

Imagine peace
as you write a wish
and hang it on the
Wish Tree

(Yoko Ono, Spring 2015)

INI bukan lirik lagu dari Yoko Ono, janda mendiang John Lennon, dedengkot Beatles yang terkenal dengan lagu Imagine yang sudah menjadi ikon lagu abadi. Alih-alih sebuah puisi atau bait lagu, melainkan karya seni rupa yang diciptakan Yoko Ono khusus untuk Artjog 2015, perhelatan seni rupa di Jogjakarta.

Yoko Ono menghadirkan karya seni instalasi berupa tiga pohon maja yang tumbuh di lereng Gunung Merapi. Pengunjung dapat berinteraksi dengan menuliskan doa harapan yang boleh digantung di dahan dan ranting pohon hidup. Seni, dalam persepsi Yoko Ono, diharapkan bisa melebur dengan masyarakat yang mengidamkan kehidupan damai.

***

Seni rupa selama ini sering diidentikkan dengan lukisan di atas media kanvas. Bagaimana bentuk dan model seni rupa tanpa kanvas, seperti karya Yoko Ono itu?

Jawaban atas pertanyaan tersebut coba disodorkan penyelenggara Artjog 2015, yang dimulai 6 Juni lalu dan berakhir hari ini (28/6). Ajang seni yang telah memasuki penyelenggaraan tahun kedelapan itu sedang mengharubirukan kehidupan kesenian di kota budaya tersebut. Artjog sebagai magnet kegiatan seni rupa menarik pelaku seni untuk meramaikan Jogjakarta dengan mengadakan lebih dari seratus perhelatan paralel selama sebulan berupa seni rupa, musik, tari, drama, film, dan sastra yang dikunjungi masyarakat serta pencinta seni dari berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.

Seni Rupa tanpa Kanvas - ArtJog 2015
SERBAMESIN: Karya Jompet Kuswidananto yang berjudul Order and Atter #1 di ArtJog 2015.
Karya instalasi seni ini terinspirasi keriuhan kampanye Pemilu 2014.

Artjog 2015 menampilkan 103 karya seni rupa dari 86 seniman, 12 di antaranya merupakan seniman dari luar Indonesia. Penyelenggara menghadirkan sensasi dengan mempertunjukkan satu saja lukisan berupa cat akrilik di atas media kanvas. Karya-karya lainnya yang ditampilkan berupa seni media (media art) seperti video seni, instalasi seni, foto kontemporer, seni pertunjukan (performance art), dan seni media digital.

Memang sudah beberapa tahun ini seni rupa dunia menunjukkan kecenderungan mulai bosan dengan media kanvas. Perkembangan teknologi yang melimpah ruah serta efek globalisasi mengusik persepsi dunia seni rupa atas penggunaan media yang sejak dulu didominasi kanvas.

Biennale Jogja 2011 telah memulai menyelenggarakan ajang seni rupa yang minim lukisan di atas kanvas. Sesuai fungsi biennale yang merupakan pembelajaran dan tidak berniat komersial, tidak mengikuti tren pasar, bahkan membidik kecenderungan apresiasi seni di masa mendatang. Saat itu banyak yang terperanjat melihat karya-karya seni rupa yang dipamerkan. Empat tahun sudah berlalu, sekarang muncullah Artjog 2015, bursa seni rupa (art fair) yang bersifat komersial dan berani menampakkan dirinya tidak hanya mengandalkan penjualan karya seni rupa berbasis media konvensional.

Apakah ini langkah nekat yang tidak memperhitungkan aspek komersial? Heri Pemad, penggagas Artjog menerangkan, sudah banyak kolektor seni rupa yang mengoleksi karya-karya seni rupa berbasis seni media. Apalagi, tema perhelatan kali ini dikaitkan dengan Fluxus, suatu gerakan seni yang mengambil sikap anti-art dengan antara lain menghilangkan batas antara penonton dan karya seni rupa.

Beberapa seniman kondang merespons perhelatan ini dengan menampilkan karya seni rupa yang di luar pakem mereka. Syamsul Arifin, misalnya, yang biasanya mengeksplorasi media kanvas, kali ini mengekspresikan idenya dalam bentuk seni video bertajuk Segala yang Ada Kembali Tiada. Berupa tiga video yang menggambarkan icon figure ciptaan Syamsul yang beralih wujud dari debu menjadi debu secara berulang-ulang. Proses kehidupan sesaat yang tunduk dan berserah diri kepada Sang Pencipta.

Agan Harahap yang unggul dalam media fotografi kontemporer sengaja menghadirkan seni rupa berwujud media lampu yang membentuk kalimat #_and justice for all. Hasil riset Agan atas media sosial dituangkan dalam bentuk karya interaktif yang mengajak pengunjung mengakses hashtag tersebut di berbagai media sosial. Berisi serial fotografi tentang parodi permasalahan hokum yang tak kunjung tuntas di negeri kita.

Komunitas Mes 56, garda terdepan seniman fotografi kontemporer Indonesia, mencoba mengolah bentuk media lainnya. Wimo Ambala Bayang bermain-main dengan kata-kata yang disitir dari puisi Sutardji Calzoum Bachri, penyair yang membebaskan kata-kata dari kungkungan pengertian dan mengembalikan fungsi kata seperti dalam bentuk mantra. Realisasinya berupa kata-kata seperti “Kakikau lukakah kakiku luka”, “Kalau kakiku kaku lukakau luka”, yang ditulis di atas puluhan skateboard dalam instalasi Belajar Membaca.

Jim Allen Abel, yang akrab dipanggil Jimbo, menampilkan meja makan yang disorot video menampilkan hidangan makanan dan sebagian wajah enam orang yang sedang menyantap makanan serta minuman sambil berinteraksi sosial memperbincangkan secara santai topik, isu, dan desas-desus politik selama berlangsungnya Pilpres 2014.

Angki Purbandono, anggota Mes 56 paling senior, tidak menampilkan media light box yang membuatnya dikenal dunia seni rupa, namun kalender harian bergambar pacarnya (sekarang menjadi istrinya), yang setia mengisi hari-harinya selama di balik jeruji lembaga pemasyarakatan dengan meng-upload foto dirinya. Selain itu, Angki dkk, mantan para napi, mendapat ruangan khusus bernama Prison Art Lab yang menyajikan berbagai bentuk daun menjadi barang seni rupa berjudul Atas Nama Daun. Hikmah dari terkurungnya Angki di lapas karena bermain-main dengan daun kanabis.

Isu mengenai swasembada pangan diangkat Eddi Prabandono. Puluhan piring makan berisi tanah yang ditumbuhi bibit padi tergolek di lantai bersanding dengan mesin pengaduk semen.

Pengunjung pameran juga diajak berinteraksi dengan karya-karya seniman. Seperti halnya merasakan bermain tenis meja berhias mural di alas meja dan dinding sekelilingnya tanpa menggunakan net pembatas. Bermain video games berjudul Bedil yang merupakan karya instalasi dalam bentuk sebuah permainan tembak-menembak. Pengunjung mendapatkan sepucuk senjata untuk menumpas oknum-oknum yang berniat menghancurkan infrastruktur Kota Jogjakarta di masa depan.

Menikmati musik dari televisi jadul di ruangan yang didekor untuk membangkitkan memori personal dari kehidupan masa silam. Membawa sejumput tanah yang akan diperjualbelikan dalam karya seni instalasi “Jual Tanah”!

Apa jadinya bila kita berimajinasi dengan ilustrasi yang ada di kemasan berbagai merek teh? Terra Bajraghosa tidak hanya memamerkan printing gambar yang ada di berbagai merek teh, namun juga mengolah animasi interaktif sehingga kita bisa memilih ilustrasi seperti yang ada di kemasan teh Tjap Bandulan, Tjap Gardoe, Tjap Tjatoet, Tjap Angon, dan The Gopek menjadi ilustrasi bergerak yang mempunyai narasi sendiri dan bukan sekadar hadir sebagai merek barang komoditas.

Handiwirman Saputra menegaskan bahwa kedudukan seni rupa kontemporer sebagai cara adalah ide, bentuk merupakan hasil, dalam karya instalasi berjudul Luar Tampak Dalam-Dalam Tampak Luar. Bukan dibalik tersedia media seni rupa terlebih dahulu, baru berpikir gagasan apa yang akan dituangkan dalam media tersebut.

Kurator Artjog 2015 Bambang “Toko” Witjaksono menyatakan pentingnya keberadaan karya seni yang “tak terbatas” di tengah dunia yang semakin tak berjarak. Karya seni yang tidak lagi dibatasi dominasi salah satu media saja, tapi bisa melibatkan dan memprovokasi semua indra serta membawa pengunjung larut dalam seni. (*)


IRAWAN HADIKUSUMO, Pencinta seni, tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak