Oleh I PUTU AGUS PHEBI ROSADI
KAMI tinggal di pinggiran Swiss. Usiaku tujuh puluh tahun , sedangkan istriku dua puluh delapan tahun. Perbedaan yang sangat jauh bukan? Tapi begitulah cinta kami tak mempersoalkan usia. Ia perempuan yang baik dan terampil. Maria masih keturunan Dolf Teuscher sehingga ia begitu pandai meramu cokelat. Sama seperti kakeknya. Truffle Sampanye adalah andalannya. Cokelat yang dibuatnya dari campuran krim segar, mentega, cokelat dari sampanye krim, dan satu rahasia lagi—tangannya yang terampil. Itulah rahasia utama dari cokelat di toko kami yang memikat orang banyak.
Setiap hari toko kami tak pernah sepi pengunjung. Kami buka hingga pukul lima sore. Bukan karena kehabisan bahan atau alasan tubuh yang perlu istirahat, tapi lebih pada senja yang jatuh di danau belakang rumah seperti ini tak ingin kami lewatkan. Dan, setelah senja, kami akan tersenyum sendiri melihat cahaya yang jatuh dan memantul dengan tekstur dekorasi warna-warni.
“Ornamen warna yang melodius,” katanya suatu hari. Begitulah cara tempat ini memberi salam bahagia sepanjang kami tinggal di sini.
Dua gelas susu, satu yang tawar untukku dan satu yang manis untuknya. Sebatang cokelat juga telah disediakan di atas meja. Sehabis mandi, tentu ia akan datang menemaniku. Mematahkan lempengan cokelat hingga berbentuk kotak-kotak kecil yang sembarang sebelum mengunyahnya dengan senyuman. Aku sendiri tak menyukai cokelat—tepatnya tak berani mengonsumsi makanan yang terlalu manis.
Waktu terasa lambat berjalan. Aku ingin segera menikmati senja yang purna. Dalam keadaan duduk sendirian seperti ini, aku selalu mengeluh. Kupikir perkara lukaku yang tak kunjung kering selama bertahun-tahun, aku hanya memerlukan kehadiran seorang perempuan. Tapi, ternyata, kehadiran Maria tak benar-benar mampu menghapus bayangan perempuan yang melekat di kepalaku. Cinta dan kenangan yang panjang seolah-olah bangkit dan menyata saat senja tiba. Ia muncul dari wilayah genangan cahaya danau seperti muncul dari balik cermin.
***
“Dalam winter seperti ini, cokelat akan menghangatkan. Cokelat juga menstimulus otak sehingga beberapa patahan saja, perasaan jadi begitu tenang.” Kurang lebih demikianlah kalimatnya untuk memulai sebuah obrolan pada senja seperti ini. Setelah itu, tangannya akan sibuk mematahkan lempengan cokelat untuk dicelupkan ke dalam susu hangat yang kusajikan. Begitulah cara perempuan itu menyuguhkan senja padaku. Terlebih saat pertama kami bertemu di pinggir danau ini. Rin perempuan yang gemar makan cokelat dan aku seorang pelukis.
Lamunanku kali ini benar-benar meliuk jauh ke masa lalu. Ah, kenangan yang ini lagi. Beberapa kali sudah aku mencoba untuk menolakknya masuk ke dalam kepala. Berbagai cara sudah kulakukan namun tak membuahkan hasil. Belakangan justru istriku dengan sengaja meninggalkanku sendirian menikmati lamunan. Padahal, ia tahu aku sedang mengingat perempuan masa silam. Tak ada sedikit pun rasa cemburu. Perihal kelakuanku ini, suatu ketika ia pernah menasehatiku.
“Maafkan aku. Bagaimana jika kudarahkan saja ingatan ini? Aku susah sekali melupakannya.” Aku menundukkan kepala. Penuh sesal.
“Hentikan sayang. Hentikan kecipak mulut gunting itu. Bayangkan selagi kau bisa. Kau boleh mencoba melupakannya, tapi atas keinginan dan upayamu sendiri,” katanya.
“Kadangkala, memasuki kenangan jauh lebih dalam adalah upaya yang terbaik untuk melupakannya. Kau boleh mengingatnya setiap hari, setiap senja tiba, tapi suatu saat kau akan mati kebosanan dan melupakannya. Aku pun demikian. Aku sering memberi kebijakan pada diriku untuk melakukan hal bodoh semacam itu. Berpikir bertolak belakang dengan nalar,” ujarnya.
Aku mengangguk mengikuti sarannya. Ah, kali ini aku merasa tercebur lebih dalam pada kubangan genangan.
Suatu kali kami punya mimpi yang sama. Aku ingin membuat sebuah galeri lukis dan Rin punya mimpi mendirikan toko cokelat. “Cokelat adalah benda yang paling romantis. Kau harus percaya ia akan mendatangkan kebahagiaan,” katanya. Kami bersama mewujudkan keinginan itu hingga akhirnya ketekunannya menambatkannya pada sebuah toko cokelat lukis. Kami membangun segalanya tanpa jeda dan penuh bahagia. Di toko itu kami hanya menjual cokelat lukis. Banyak pengunjung yang datang untuk membeli lempengan cokelat biasa tanpa lukisan. Tapi Rin selalu menolak menjualnya.
“Maaf, kami tidak menjual cokelat. Kami hanya menjual hadiah.”
Ia menyebutnya hadiah karena toko yang kami bangun hanya menjual cokelat dengan lukisan di atasnya. Lazimnya benda itu akan dihadikan kepada seseorang.
Sepuluh tahun berselang setelah cinta membuahi kebahagiaan kami, suatu hari, ia memutuskan pergi di pagi yang dingin. Di pagi hari yang tersungkur dalam salju, ia pamit padaku untuk bertemu dengan ayahnya. Untuk kesekian kali ia akan membawa persoalan yang sama: izin menikah denganku.
“Ini akan membantu menjagamu dari dingin yang berkepanjangan selama perjalanan. Kembalilah dengan kabar baik.” Aku melingkarkan scarf warna ungu di lehernya.
“Tak usah khawatir. Aku akan kembali padamu. Bersama kita mendongeng pada kehidupan hingga rambut putih berguguran,” ujarnya menepuk pipiku seraya pergi berlalu.
Aku masih ingat saat terakhir bersamanya waktu itu. Kupandang terus tubuhnya yang lambat laun menjauh ditelan salju yang turun perlahan menjadi lebat. Entah apa yang terjadi padanya. Begitu lama ia tak kembali. Aku yakin waktu itu aku sempat menanamkan janin di rahimnya. Aku tersedu. Segala sesuatu terasa berjejal dalam kepala. Aku berniat menyusul, tapi aku tak punya alamat rumahnya.
Memang aku tak begitu peduli soal asal-usul meskipun dia adalah kekasihku. Aku mencoba mencari ke seluruh teman yang pernah dikenalkannya padaku. Tak ada informasi yang bisa digali. Sial, aku tiba-tiba lupa tentang cara hidup orang Swiss yang rukun meski tanpa saling mengetahui satu sama lain. Aku terus mencari, akhirnya kabar buruk datang bertandang: Rin telah memutuskan mati bunuh diri. Peraturan inilah yang selama ini kubenci: Undang-Undang Euthanasia paling liberal di dunia yang melegalkan seseorang untuk bunuh diri.
Sekian lama sejak kabar buruk itu, praktis aku hanya sendiri. Toko sekian tahun aku tutup. Aku mengalami trauma yang panjang. Setiap hari kesedihan begitu berlarut-larut. Setiap senja aku selalu menghidangkan secangkir cokelat panas untuknya, dan segelas susu tawar hangat untukku. Aku berandai ia akan datang menemuiku. Berdua kami menikmati senja yang melodius.
Dan di pertengahan tahun 2003, Maria tiba-tiba datang dengan usia tujuh belas tahun. Ia membawakanku sebatang cokelat dan memintaku melukis seorang lelaki di atasnya. Aku menolak. Aku terkejut, entah dari siapa ia mengetahui bahwa aku dulu adalah seorang pemilik toko cokelat lukis.
“Aku penyuka cokelat,” ujarnya memperkenalkan diri.
Akhirnya aku sadar, itu juga kalimat pertama Rin kala pertama kali berkenalan denganku. Aku tersentak. Ada perasaan yang tiba-tiba meletup. Perasaan yang tiba-tiba menutup luka masa lalu yang begitu dalam. Aku pun meyakini, pada saat itulah aku jatuh cinta padanya.
Berhari-hari kemudian ia selalu datang mengunjungiku membawa resep cokelat dari kakeknya. Sejak kedatangannya sesuatu berjalan begitu pelan. Ingatan demi ingatan seolah terhapus dari kepalaku. Tak ada kesedihan. Seolah-olah aku telah melupakan begitu banyak kenangan bersama Rin. Kemudian ada hal yang membuatku tersadar bahwa dua bulan telah berlalu: Kami bersepakat membuka lagi toko cokelat itu. Namun keadaan tanganku yang telah gemetar membuat kami hanya bisa menjual cokelat lempengan saja. Tanpa lukisan di atasnya.
Banyak pengunjung yang datang menanyakan perihal hadiah itu. Tapi Maria selalu menjawab: “Maaf, kami tidak lagi menjual hadiah. Sekarang kami hanya menjual cokelat.”
“Maksudmu? Berarti pernah menjual? Kenapa berhenti?”
“Iya, karena tangan suamiku sudah terlalu bergetar untuk melukis.
Pembeli itu mengangguk seolah paham dan menerima hanya dengan satu alasan tanpa perlu Maria mengeluarkan alasan-alasan penunjang.
Kenangan demi kenangan terus meracau melintasi kepalaku. Aku hampir mati kebosanan. Sungguh aku kian menebar rasa benci pada senja yang penuh pikiran kusut seperti ini. Aku melirik ke arah jam dinding. Pukul enam tiga puluh sore. Sebentar lagi cahaya dari berbagai sumber akan jatuh di permukaan danau dengan komposisi sempurna. Aku membayangkannya ketika cahaya menerpa biru air danau dan mengubah suasana menjadi begitu melodius. Sungguh, senja ini begitu panjang. Aku merasa kembali melewati sekian tahun di masa lalu.
***
Sejenak aku memalingkan wajah dari danau, tiba-tiba Maria telah berdiri di belakang. Cepat duduk di sampingku. Menutup lamunanku dengan singkat. Tanpa perlu bicara banyak. Begitulah mayoritas orang Swiss, ia hanya bicara seperlunya saja.
“Di senja seperti ini, danau adalah tempat yang tenang untuk berbagi kesedihan. Apa itu masih menjadi alasanmu jatuh cinta padanya?”
“Iya, tentu, selain bersamamu,” jawabku.
“Open your mouth,” Ia memaksa memasukkan cokelat itu ke dalam mulutku. Aku menutup mulut sekuatnya dengan kedua tanganku.
“Cokelat akan membuat pikiranmu tenang, makanlah.” Aku tetap membungkam mulutkku. Ia menaruh cokelat itu di meja dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Ia melumatku dalam ciuman. Aku terkejut, ternyata ia telah menyimpan lebih dulu cokelat di dalam mulutnya kemudian ia mendorong cokelat itu dengan lidahnya melaju menembus tenggorokanku.
Aku tak kuasa mengelak. Tapi, aku merasakan ada yang ganjil hari ini. Tubuhnya begitu hangat. Wangi di bagian lehernya juga berbeda dari hari biasanya. Aku melirik ke bagian lehernya. Scarf warna ungu melingkari lehernya. Aku meraba scarf itu.
“Ini milik ibuku. Dulu ia menitipkannya padaku untuk diberikan kepada seorang lelaki.” Ia membolak-balikkan scarf itu dan menunjukkan sebuah tulisan yang kuperkirakan ditulis dengan rajutan tangan.
Terima kasih, scarf-mu telah menyelamatkanku dari gigil kesedihan yang berkepanjangan
Tubuhku terbujur kaku. Darahku berhenti berlari.
“Kau mengenalnya?”
Aku semakin mematung. Benda itu benar-benar menikamku.
“Albert…” Ia melihir memanggilku. Tak begitu jauh dari telingaku. Ia menepuk-nepuk pipiku.
“Apakah kau anakku?”
“Bukankah aku istrimu?” jawabnya.
Aku menengadahkan wajah, Kuhirup napas dalam-dalam. Langit tiba-tiba mengugurkan salju seraya mengugurkan cintaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak