14 Desember 2014

Malaikat Pelindung Alkoholisme

Oleh J. SUMARDIANTA

"Terobosan itu sesuatu yang tidak biasa karena memiliki daya dobrak tinggi. Jika biasa-biasa saja dan normatif, bukan terobosan namanya." (Lin Che Wei)

Seorang pria tua terbaring sekarat di trotoar. Banyak orang yang melihat dan mengerumuninya. Mantel yang dikenakannya lusuh. Kacamata, bingkai kulit penyu dengan lensa retak, tergeletak di dekat kepalanya. Rambut panjangnya kusut. Wajahnya penuh luka lecet. Aroma alkokol menyemak dari sekujur tubuh.

Tunawisma itu pengidap alkoholisme. Bertahun-tahun, sebelum menggelandang, dia menyembunyikan kebiasaan minum-minum dari keluarganya. Dia seorang alkoholik sepanjang sebagian besar masa dewasanya. Saat remaja dia belum kecanduan air setan. Dia pernah hidup bahagia bersama seorang istri dan dua putranya.

Ketergantungan pada alkohol menjadi-jadi menjelang ulang tahun ke-16 anak pertamanya. Dia sering tampak capai dan terlihat sangat tua. Botol-botol vodka kosong terserak di mana-mana -bawah jok mobil, laci kaus kaki, dan belakang garasi. Istri dan dua anaknya sudah sering mengajaknya berbicara. Konfrontasi, ultimatum, dan penyangkalan datang silih berganti. Lelaki bernama Alex Holden itu akhirnya minggat dari rumah.

Sembilan tahun terakhir dia hidup menggelandang di jalanan. Dia tidur di bangku-bangku taman kota, kolong jembatan, kompleks pemakaman, dan rumah singgah tunawisma. Penderitaan keluarga Holden tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Istri dan dua anaknya selalu terbangun dari tidur tiap pagi dengan rasa sakit tajam menusuk perut. Dua anaknya, Robert dan David Holden. mengalami krisis kehidupan paro baya dalam tubuh remaja belasan tahun.

Alex Holden pernah bekerja sebagai manajer senior bank investasi dan perusahaan saham. Kejatuhan cepat lelaki sukses itu mengejutkan banyak orang. Dia memiliki karir melejit dan beragam pada perusahaan-perusahaan multinasional. Dia pernah menduduki jabatan eksekutif di Kanada, Kenya, dan Inggris. Dia bermukim di desa pinggir Kota Hamshire, Inggris, bersama keluarga yang sangat mencintainya. Tentu saja dia pernah mengalami masa-masa sulit. Mengumpulkan banyak rezeki sekaligus kehilangan banyak uang. Dia meraih promosi sekaligus disingkirkan.

Sebagaimana dikisahkan Robert Holden, si putra sulung, dalam Success Intelligence: Timeless Wisdom for a Manic Society (2005), Alex Holden tersesat di suatu tempat sepanjang perjalanan menuju kesuksesan. Dia kehilangan daya pandang tentang kehidupan nyata. Dia juga kehilangan kemampuan memahami diri sendiri. Memahami orang lain itu kecerdasan. Memahami diri sendiri itu kearifan. Kehampaan makna menghampiri. Ketiadaan nilai perlahan-lahan membunuh. Alex Holden bagaikan kesatria yang dibantai berulang-ulang naga tidak kasatmata.

***

Keterpurukan ke dalam alkoholisme bisa merundung siapa pun. Tidak peduli keluarga berada atau nestapa. Tragedi menimpa tak terduga. Seperti hujan yang tiba-tiba datang saat fajar, 36 orang mati konyol di Garut, Sumedang, dan Purwakarta, Jawa Barat, karena menenggak miras oplosan. Korban, setelah menikmati surga fana, seperti diisap neraka abadi. Bencana miras sebelumnya juga terjadi di Jogjakarta, Solo, dan Tegal. Miras identik dengan fatalisme (hampa norma) dan nihilisme (ketiadaan makna).

Fatalisme dan nihilisme pecandu miras sama absurdnya dengan perilaku seorang lelaki yang membunuh pacarnya saat bercinta di Denpasar, Bali. Juga, seorang lelaki muda di Jakarta yang melacurkan pacarnya demi bisa membayar cicilan sepeda motor.

Miras oplosan bukan fermentasi beras atau buah anggur pilihan. Bahan bakunya methanol. Jantung, paru, ginjal, dan liver pecandu miras oplosan biasanya mengalami kegagalan fungsi secara mendadak. Metanol adalah bahan pelarut cat tembok. Pecandu miras oplosan cenderung mengalami kebutaan total akibat kebakaran saraf retina.

Miras (minuman keras) merupakan akronim khas Indonesia. Di Medan terkenal dengan miras Tjap Tikus. Di Manado melegenda miras Cap Kambing Putih. Di Malang tersohor Ciu Alimi. Di Jogja, miras Topi Miring atau Anggur Merah mendapat julukan wedang galak, wedang gloyor, banyu gendheng dan wedang kere.

Murah meriah terjangkau kalangan akar rumput. Di Bandung, bahkan ada desain kaus oblong dengan ungkapan "Jauh dari Cinta Dekat Orang Tua: Pantang Pulang sebelum Tumbang". Maksudnya, kaum lelaki tidak perlu khawatir putus cinta karena bisa menenggak anggur Tjap Orang Tua sampai geloyoran tak sadarkan diri.

Perilaku pecandu miras murahan unik saat mabuk. Pulang ke rumah dalam kondisi teler, dia mengencingi lemari pakaian karena dikira toilet. Di kamar tidur, istri yang tergolek di kasur dibangunkan, kemudian ditawar, "Berapa, Mbak?" Saat mabuk orang menampakkan "kejujuran" tindak tanduk kesehariannya.

Miras murahan juga merajalela di negara besar berpenduduk miskin seperti India. Masyarakat Eropa tidak mengenal istilah miras. Mereka menyebut minuman beralkohol dengan istilah "spirit" atau "survival kit". Semangat atau peranti untuk survive. Ada beragam spirit mengandung alkohol 15-40 persen yang diperjualbelikan di wine and spirit shop. Mulai yang paling mahal sampai termurah. Kadar alkoholnya tertinggi sampai terendah. Brendi, cognac, wiski, vodka, liquor, wine, sampanye, dan bit.

Masyarakat kalangan bawah di perkotaan maupun pedesaan Indonesia menjadikan miras sebagai bagian dari strategi adaptasi untuk tetap bisa bertahan hidup. Miras, tak ubahnya judi dan prostitusi murahan, merupakan strategi orang susah agar bisa berdamai dengan penderitaan dan menerima kemiskinannya.

Masyarakat Eropa, Amerika, Kanada, atau Australia mengonsumsi berbagai jenis spirit dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan alam yang ganas pada musim dingin. Darah orang Rusia, yang dipaksa hidup pada suhu minus 50 derajat Celsius, bakal beku bila tidak minum vodka.

Kultur bangsa Barat tidak bisa lepas dari alkohol. Di meja hidangan mereka bahkan selalu tersedia dua jenis anggur sebagai penjemput selera makan. Anggur merah digunakan untuk pembuka santap daging ayam, kambing, dan sapi. Anggur putih untuk hidangan seafood.

Alkohol dalam kadar moderat menyehatkan jiwa dan raga. Dalam porsi berlebihan, alcohol bisa membunuh pelan-pelan. Bagaimana alkoholisme diantisipasi dan diatasi? Gerardo Gonzales boleh disebut malaikat bagi para pengidap alkoholisme. Orang tua Gerardo. imigran Amerika, berasal dari Kuba. Tumbuh di kamp pengungsi Florida yang penuh mabuk dan obat bius.

Gerardo, saat bekerja sebagai pelayan toko, berkuliah di Universitas Florida. Dia terpesona dengan kehidupan intelektual. Dia belajar dengan tekun dan gigih. Gerardo mendapati dirinya dikelilingi budaya mabuk-mabukan pada akhir pekan. Kecelakaan mobil, keracunan alkohol, dan tawuran antar geng membuat Gerardo prihatin. Kampus menentang pesta memabukkan. Polisi membubarkan kerumunan orang mabuk. Tapi, tak ada satu pun upaya yang berhasil menghentikan bahaya miras.

Gerardo tidak ingin meninggalkan kawan-kawannya sekaligus tidak mau bergabung dengan budaya berpesta akhir pekan mereka. Menyadari bahwa anak-anak muda seusianya lebih mendengarkan teman sebaya ketimbang otoritas pihak berwenang, Gerardo mendirikan kelompok BACCHUS. Tujuannya, menumbuhkan kesadaran akan bahaya alkohol bagi kesehatan mahasiswa.

Kegiatan kampanye yang dipelopori Gerardo sukses luar biasa. Cabang-cabang BACCHUS menyebar ke universitas lain yang juga kewalahan menghadapi wabah miras. Gerardo dan timnya memelopori pendekatan baru untuk membantu generasi muda agar menghindar dari perilaku berisiko melalui gerakan "pendidikan rekan sebaya" atau "dukungan rekan sebaya". Gerakan itu sekarang sudah menjadi peranti standar bagi sebagian besar sekolah dan universitas Amerika dalam memerangi alkohol dan narkoba.

Kapolda Jawa Barat malu ditegur Kapolri karena di wilayahnya berjatuhan korban miras oplosan. Di Kabupaten Garut sampai ada deklarasi antimiras. Tapi, semua itu tidak bisa diperangi dengan gerakan deklarasi artifisial yang hanya menyelesaikan persoalan sesaat di permukaan. Seolah wabah madat selesai dengan sendirinya setelah diomongkan dan dipasang spanduk. Bangsa Indonesia membutuhkan malaikat penyelamat pecandu miras dan narkoba. Bukan lagi sekadar deklarasi dan pertunjukan gilas ribuan botol miras di halaman mapolres dengan stoomwals.


J. SUMARDIANTA, Guru SMA Kolese De Britto Jogjakarta, penulis buku Habis Galau Terbitlah Move-On (2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak