1 Maret 2015

Serat Bolonggrowong dan Buku-Buku Lain yang Dibakar oleh Polisi Agama

Oleh TRIYANTO TRIWIKROMO

AKU diteror. Paviliun yang baru saja kujadikan perpustakaan, dibakar orang, saat aku, suami, dan anak-anak berlibur ke Gunung Bromo. Tidak semua buku jadi onggokan kertas hangus. Hanya beberapa, terutama yang berkaitan dengan agama, yang tak bisa diselamatkan. Aku tak tahu mengapa beberapa buku yang kuanggap tidak terlalu penting justru dikeluarkan dari paviliun sebelum api melahap.

Cerpen Jawa Pos - Serat Bolonggrowong dan Buku-Buku Lain yang Dibakar oleh Polisi Agama
Suasana berada di paviliun kacau balau. Buku-buku yang dipilih untuk tidak dibakar berserakan. Ada beberapa yang terbuka. Ada yang masih terbungkus plastik. Di antara semua itu, halaman 713 buku Gunung Jiwa karya Gao Hingjian perihal "ketiadaan kegembiraan dan salju-salju turun" disobek. Halaman 197-224 Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing, Kumpulan Cerita Pendek Cina Kontemporer yang disunting oleh Zhu Hong berisi cerpen "Gerak Maju Mobil Patroli Militer" karya Tang Dong dicoret-coret dan seluruh kata "perahu" dalam novel The God of Small Thing karya Arundhati Roy diberi lingkaran spidol merah.

Aku curiga mengapa si pembakar memperlakukan buku-buku milik ahli sejarah yang sedang meneliti perilaku manusia-manusia abad ke-19 yang mulai meninggalkan agama --sepertiku-- dengan cara aneh. Aku curiga mengapa hanya buku-buku yang berkait dengan agama yang dibakar. Dugaanku, dia --yang menempelkan kertas bertuliskan "Polisi Agama" di salah satu brankas digeletakkan di taman-- tak lebih dan tak kurang adalah pembakar iseng dan gila. Di dunia ini tidak ada orang yang mau bersusah payah menyatroni rumah orang hanya untuk membakar buku, bukan?

Kukira satu-satunya cara mengetahui motif pembakaran, kita harus menemukan manusia sableng yang mungkin saja justru bukan seorang polisi itu. Namun, sebelum itu, sebaiknya kenalilah buku-buku yang dibakar terlebih dulu. Aku yakin dengan mengetahui buku-bukuku, kau akan segera paham, manusia macam apa yang sedang menerorku.


1. ZABALAWI, BALAZAWI, LABAWAZI

Huda, seorang teman dari Kairo, memberiku buku bergambar orang-oang yang sedang mendaki bukit pada Desember 2002. Buku itu bertajuk Zabalawi, Balazawi, Labawazi. Aku kaget mendapatkan nama Balazawi dan Labawazi dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Sahal itu karena sebelumnya aku pernah membaca cerita pendek "Zabalawi".

Zabalawi dalam karya pengarang Mesir Najib Mahfuz, izinkan aku menceritakan dengan caraku sendiri, adalah sosok penyembuh yang dicari oleh Ibnu Ali. Ibnu Ali hanya mengenal Zabalawi dari sebuah lagu pada masa kanak-kanak. Meskipun demikian dia sangat percaya Zabalawi adalah wali Allah. Karena itulah, perjalanan mencari sang wali pun dimulai. Mula-mula Ibnu Ali bertemu dengan hakim Syekh Qamar. Sayang sekali, Syekh Qamar hanya bilang, "Dia memang pernah hidup, tetapi banyak orang tidak tahu di mana dia sekarang."

Ibnu Ali putus asa. Akan tetapi, tak mungkin dia pulang. Pulang hanya akan mengakibatkan dia mati. Karena itulah, Ibnu Ali percaya pada informasi Syekh Qamar: mungkin saja Zabalawi berada di daerah Birjawi. Di Birjawi, dia bertemu dengan seorang pemilik toko buku. Pemilik toko buku ini memberi denah yang menggambarkan di mana saja Zabalawi biasa tinggal. Pencarian pun dilanjutkan, tetapi tetap saja Ibnu Ali tak menemukan sosok yang bakal memberikan mukjizat kesembuhan.

Pada perjalanan berikutnya Ibnu Ali bertemu dengan tukang seterika. "Yang jelas, dia masih hidup, Aku tak punya waktu lagi mencarinya. Hanya orang-orang muda sepertimu yang sanggup mencari, mencari, mencari, mencari, dan terus mencari..."

Akhirnya dia pun bertemu dengan seorang penggubah lagu. "Aku baru saja membuat lagu tentang Zabalawi. Segera carilah dia di bar. Bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan Zabalawi di sana."

Ibnu Ali pun kemudian ke bar. Di bar dia dipaksa mabuk. Akhirnya dia tertidur dan begitu bangun kepalanya basah.

"Siapa yang mengguyurkan air ke kepalaku?"

"Zabalawi," kata seseorang, lirih.

"Zabalawi?"

"Ya, Zabalawi. Dia tahu kalau Sampean sakit. Dia membelai Sampean dan sekarang aku kira Sampean sudah sembuh dari sakit."

Kisah itu berhenti di sini. Kisah pencari yang tidak menemukan seseorang yang dicari, tetapi justru ditemukan oleh si tercari, itu berhenti pada ketakjuban Ibnu Ali.

Akan tetapi aku lebih takjub ketimbang Ibnu Ali karena selain Zabalawi, aku juga menemukan Balazawi dan Labawazi di buku ini. Dikisahkan oleh Ibnu Sahal, mereka bertemu di bar sesaat setelah Zabalawi menyembuhkan Ibnu Ali. Inilah percakapan mereka. Inilah percakapan tiga orang yang wajah dan perilakunya sama.

Balazawi: Apakah kau benar-benar menyembuhkan Ibnu Ali?

Zabalawi: Tidak! Dia yang menyembuhkan dirinya sendiri.

Labawazi: Dengan apa dia menyembuhkan dirina sendiri?

Zabalawi: Dengan mencari. Ketika mencariku, pada saat sama dia sesungguhnya menemukan hal-hal paling tidak dipercaya, tidak mungkin digapai, tetapi meringankan kehidupan, dan menyembuhkan.

Balazawi: Jika kau tidak menemukan Ibnu Ali, apakah dia akan sembuh?

Zabalawi: Pasti sembuh. Aku menemu dia karena aku ingin meyakinkan diriku betapa aku masih berguna untuk orang lain. Bukan untuk menyembuhkan. Bukan untuk memberi mukjizat.

Labawazi: Kalau begitu, apakah hakikat mencari?

Zabalawi: Mencari adalah proses menemukan. Akan tetapi kau tidak harus menemukan untuk disebut sebagai sang penemu. Ibnu Ali tak menemukan aku. Akulah yang menemukan dia. Akan tetapi sejak berniat mencari aku, sesungguhnya dia sudah menemukanku.

Balazawi: Apakah kau perlu ada?

Zabalawi: Tidak perlu. Dongeng tentang aku sudah akan menyembuhkan para pencari.

Labawazi: Apakah aku bisa menjadi dongeng penyembuh?

Zabalawi: Siapa pun bisa menjadi dongeng penyembuh.

Balazawi: Caranya?

Zabalawi: Kau harus percaya masih banyak orang sakit yang mencari kesembuhan. Kau harus percaya masih ada pencari yang asyik-masyuk mencari dirimu di dalam kegelapan dan ketidakterdugaan.

Dialog ketiga penyembuh ini masih panjang. Akan tetapi percayalah, aku telah mengutipkan hal terpenting dan tidak lupa mengungkapkan ketakjubanku pada buku yang beberapa kali ingin kutukarkan dengan Kisah Lima Keluarga, Telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan karya Oscar Lewis terbitan 1988 itu.


2. PEDOMAN UMUM MASUK KE KAPAL KESELAMATAN

Kalau tidak salah buku ini ditulis oleh Don Gonzalo dari Desa Azteca, Meksiko pada 1959. Aku mendapatkan buku bersampul biru di dekat tong sampah depan Hotel Holiday Inn Express Times Square. Aku tak tahu apakah orang-orang New York suka membuang buku setelah mereka tuntas membaca atau buku berbahasa Inggris itu memang dianggap tidak berguna. Buku bertajuk Sepuluh Pedoman Umum Masuk ke Perahu Keselamatan ini, kau tahu, berkesan meledek kepandiran penulisnya.

Berikut kukutipkan pedoman-pedoman itu:
  1. Karena perjalanan kita akan sangat jauh, silakan manusia dan para hewan kencing dulu. Kencing di kapal akan membuat kita tenggelam dalam air seni yang pesing. 
  2. Jangan saling membunuh. Jumlah kita sangat terbatas. Tentu saja kalian boleh bercumbu untuk menghasilkan keturunan. Disarankan jangan saling mengintip.
  3. Selama perjalanan, sebaiknya tidur saja. Jangan menghalang-halangi siapa pun untuk bermimpi. Mimpi itu menyehatkan jiwa.
  4. Percakapkan hal-hal yang lucu saja. Kelucuan bisa membuat kita panjang umur.
  5. Jangan meloncat kalau kapal belum tersangkut di bukit.
  6. Manusia pelajarilah bahasa binatang, binatang pelajarilah bahasa tumbuhan, dan tumbuhan pelajarilah bahasa manusia. Siapa tahu ketika di darat kelak kalian bertetangga.
  7. Belajarlah berdoa. Tak ada nahkoda piawai di kapal ini.
  8. Pelajari juga bahasa hiu. Jika sewaktu-waktu kau jatuh ke laut, ajak dia bercakap-cakap tentang apa pun agar kau tidak menjadi mangsa paling empuk.
  9. Jika kapal telah tersangkut di bukit, berteriaklah, "Apakah aku telah sampai di rumah-Mu, Tuhan?"
  10. Jika pada akhirnya tak kau temui daratan, mintalah pada Tuhan, "Jadikan aku apa pun agar aku bisa tetap bisa menebak apa yang seharusnya dilakukan seluruh makhluk ketika segalanya hendak dimusnahkan."
Aku kira ini bukan 10 pedoman biasa. Aku kira ini sebuah amsal bagi seluruh penumpang kapal yang terpesona pada "Kabar (Kabur) Keselamatan".


3. KEBUN TANPA AGAMA

Aku mendapat buku bertajuk asli Jardin Sans Religion ini dari Dominique pada 15 September 2008. Fabel yang menyerupai Animal Farm 1 ini selesai ditulis oleh Desiree pada 17 Agustus 1945. Karena tak paham bahasa Prancis, aku meminta temanku, Udonk Chefudonk, menerjemahkan buku itu. Ketika memberikan hasil terjemahan, dia bilang kepadaku, "Kuberi judul buku lucu ini Kebun Tanpa Agama. Kuharap kau tidak akan menjadi ateis setelah membacanya."

Udonk berlebihan. Buku ini tak lebih dan tak kurang hanya merupakan percakapan semut, ulat, ular, kupu-kupu, siput, capung, dan beberapa hewan yang biasa berkeliaran di kebun tentang agama. Mereka merasa 10 hari lagi bakal kiamat dan mereka membutuhkan agama.

"Hanya agama yang akan menyelamatkan kita," kata capung.

"Tapi hewan-hewan di kapal Nuh tak beragama dan mereka semua selamat," kata siput.

"Saat itu hewan memang tidak perlu beragama," capung memberi penjelasan, "Kita harus meniru manusia. Mereka selamat dari segala malapetaka karena mereka beragama."

"Oke, mari kita beragama!" kata ulat.

"Agama akan menghaluskan hati kita!" kata kupu-kupu.

"Agama akan membuat kita saling mengasihi!" teriak ular.

"Tunggu dulu! Apakah agama kita ama dengan agama manusia?" tanya siput, "apakah agama yang kita pilih nanti membuat kita menjadi makhluk penuh cinta? Pertanyaanku berikutnya, apakah di kebun ini ada agamar, nabi, malaikat, kitab suci, mukjizat, surga, dan neraka?"

"Apakah akan ada badai kalau kita tidak beragama?"

"Apakah ada banjir?"

"Apakah ada bahasa yang dikacaukan?"

"Apakah ada api yang menyembur dari berbagai penjuru?"

"Tentu saja aku tak tahu!" kata capung, "aku tak pernah beragama dan membaca Kitab Suci-Nya."

"Kalau kau tidak tahu, mengapa kau menganjurkan kami beragama?"

Tentu saja percakapan tidak behenti sampai di situ. Selama 10 hari mereka mendiskusikan sesuatu yang tak pernah mereka pahami itu. Hari pertama, mereka membahas hubungan antara gerimis dan agama. Hari kedua, mengorek relasi warna langit dan surga. Hari ketiga, membeda perbedaan api dan neraka. Hari keempat, mempertanyakan hakikat malaikat dan hewan-hewan pemangsa. Hari kelima, menghitung jumlah dosa masing-masing. Hari keenam, belajar memahami nuansa sinar matahari. Hari ketujuh, mereka beristirahat. Hari kedelapan, mereka melupakan apa pun yang pernah mereka bicarakan. Hari kesembilan, mereka mengingat amal apa pun yang pernah dilakukan. Hari kesepuluh, mereka bingung apakah akan beragama atau tidak tetapi tetap yakin pada saat itu kiamat akan datang.

Terus terang aku bingung apakah sesungguhnya mereka perlu beragama atau tidak ketika sebentar lagi seseorang akan membakar kebun itu dengan tanpa pernah memikirkan agama para hewan dan tumbuhan itu.


4. SIDDHARTA

Ada satu buku yang tidak pernah bisa kubaca dengan tuntas. Buku itu bertajuk Siddharta karya Hermann Hesse. Setiap sampai pada halaman 156-162, aku tidak sanggup meneruskan membaca halaman-halaman lain. Aku tak tahu apakah novel itu berakhir pada 170 atau 174.

Coba kau baca sendiri kisah ini, kisah setelah Siddharta ditanya oleh Govinda, tentang apakah dia punya ajaran.

Kata Siddharta, "Kau tahu, temanku yang baik, sejak aku masih muda, ketika kita hidup di hutan besama para pertapa, aku mulai tidak memercayai guru-guru dan ajaran, dan meninggalkan mereka. Aku tetap memegang ini. Walaupun begitu, aku punya banyak guru sejak itu. Seorang pelacur cantik menjadi guruku sangat lama, dan seorang pedagang kaya adalah guruku, dan beberapa pejudi yang bermain dadu.

"Suatu kali, bahkan seorang pengikut Budhha yang berjalan kaki menjadi guruku; dia duduk bersamaku ketika aku tertidur di hutan saat berziarah... Tetapi aku paling banyak belajar dari sungai ini, dan dari pendahuluku, Vasudeva, tukang tambang. Dia orang yang sangat bersahaja, dia bukan pemikir, tetapi dia tahu apa yang dibutuhkan, persis seperti Gautama, dia orang yang sempurna, seorang yang suci."

Di titik ini aku sudah mulai meneteskan air mata. Sadar bertapa aku tidak pernah berguru pada apa pun.

Lalu ketika Siddharta berkata lagi kepada Govinda, tentang cinta, tentang sesuatu yang disepelekan siapa pun, aku benar-benar menangis. Bagaimana tidak menangis jika Siddharta bilang, "...aku hanya tertarik pada kemampuan mencintai dunia, bukan menistanya, bukan membencinya dan diriku mampu memandangnya... dengan cinta dan ketakjuban dan penghormatan tinggi...?"

Aku menangis karena aku yakin aku telah lama menyepelekan cinta.


5. SERAT BOLONGGROWONG

Buku ini ditulis pada akhir abad ke-19 dan aku yakin dianggit oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita atau seseorang yang meniru cara-cara menulis pujangga yang hidup pada 15 Maret 1802 hingga 24 Desember 1873 itu. Jika pernah membaca Serat Gatholoco, yang juga dicurigai ditulis oleh cucu Raden Ngabehi Yasadipura II, kau akan mudah sekali menafsirkan buku bertajuk Serat Bolonggrowong ini.

Hanya perlu kuingatkan, kita harus menjadi pembaca tabah agar bisa memasuki jiwa Bolonggrowong. Bolonggrowong, tokoh utama buku yang kubeli dari pedagang buku bekas di Surakarta ini, suka meledek pembaca. Di bagian awal dia bilang dalam bahasa Jawa yang sangat kasar: kalian semua lebih mirip anjing/ membaca buku tidak dengan hati hening/ baru kalimat pertama sudah mendengus-dengus/ menganggap pujangga sekadar tinja hangus.

Di bagian akhir dia meledek dengan lebih kasar lagi, "Piye, Su," kata Bolonggrowong, perempuan yang seluruh tubuhnya berlendir itu, "apakah kau masih jadi anjing jalanan/ setelah membaca seluruh sumpah serapahku/ apakah kau masih kudisan/ dan makin menjauh dengan Gusti Allah-mu?"

Tentu saja bagian awal dan akhir itu tidak terlalu penting. Inti buku ini terletak pada perdebatan seorang penjual buku bernama Cahya Semunar dengan Bolonggrowong di pasar. "Aku telah membaca hampir semua buku," kata Cahya Semunar,"Aku ingin bertanya kepadamu buku apa yang kau anggap paling berguna untuk hidup?"

"Aku tak pernah membaca buku," jawab Bolonggrowong, "Setiap yang kau lihat -gerak angin, kelebat anjing, kepak sayap gagak, dan api yang membakar jerami- adalah buku. Paham semua tanda-tanda alam dan zaman lebih berharga daripada pengetahuan dari 1.000 buku."

"Apakah kau berani berdebat tentang nabi dan agama denganku?"

"Dalam soal debat, tak ada yang perlu kutakuti."

"Berapa jumlah nabi di Jawa? Kau tak akan mengatakan Adam lahir di Jawa, perahu Nuh terdampar di Gunung Merapi, dan Sulaiman yang membangun Borobudur, bukan?"

"Jika tahu jumlah wali wudhar 2 maka kau akan tahu berapa jumlah nabi di Jawa. Jika kau tahu, siapa yang kali pertama menyebut macan untuk macan, kau akan tahu apakah Nabi Adam lahir di Jawa atau Sumatera. Jika tahu apakah Borobudur dibangun oleh aneka burung, satwa air, dan hewan-hewan melata, maka kau akan tahu pula apakah Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman atau Raja Samaratungga."

"Apakah kau hendak mengatakan kita memiliki lebih dari 1.000 nabi?"

"Tergantung ada atau tidak 1.000 nabi yang dibuatkan semacam sirah atau selawatan."

"Berapa jumlah malaikat?"

"Sejumlah yang kau angankan."

"Satu, 10, 100, 1.000?"

"Jika kau menginginkan 10, malaikatmu akan berjumlah 10. Jika kau menginginkan 100 malaikatmu akan berjumlah 100. Jika kau menginginkan bersayap, mereka akan bersayap. Jika kau menginginkan berwajah burung, mereka tidak akan berwajah ular."

"Semua penjelasanmu sepertinya tak bersandar pada kitab."

"Justru aku bertolak dari segala yang kuketahui dari balik Dinding Rahasia."

"Apakah Dinding Rahasia?"

"Sesuatu yang menjadi tirai bagi apa pun yang tidak kau ketahui di alam fana."

"Semacam Dinding Hantu?"

"Justru Ia merupakan Dinding Tuhan."

"Dinding Tuhan?"

"Ya. Ia sebenarnya semacam cermin raksasa tempat semua manusia melihat apakah dia sudah menjadi makhluk yang layak menyatu dengan-Nya. Di Dinding Rahasia inilah kau bisa bertanya, 'Gusti, apakah aku telah layak menjadi makhluk paling suci atau sekadar satwa sengsara?"

"Ah, kau mulai berlagak seperti wali."

"Aku memang wali. Wali bagi diriku sendiri."

"Kata-katamu makin dangkal.Mulutmu makin ceriwis."

"Apakah tidak sebaliknya? Coba aku bertanya: lewat pintu surga yang mana agar kita segera sampai kepada-Nya?"

"Lewat satu pintu yang telah ditetapkan."

"Hanya satu pintu?"

"Hanya satu pintu."

"Apakah kau yakin Gusti Allah hanya menyediakan satu pintu? Bagaimana jika ternyata Ia menyediakan 1.000 pintu?"

"Aku tetap hanya memilih satu pintu."

"Pintu yang mana?"

"Pintu yang paling kuyakini."

"Kalau pintu itu ternyata telah ditutup, apakah kau juga akan ngotot berdiri di depan pintu dan mengetuk pintu itu sepanjang waktu?"

Cahya Semunar terdiam. Dia kian bingung menghadapi Bolonggrowong. Sebaliknya, merasa mendapat angin, Bolonggrowong mencecar Cahya Semunar dengan beberapa pertanyaan lagi.

"Menurutmu, apakah ajaran utama kehidupan?"

"Mengenal Gusti Allah."

"Salah! Kau harus mengenal dirimu sendiri dulu. Lalu apa lagi?"

"Memahami para nabi."

"Salah! Kau harus memahami para tetanggamu dulu. Lalu apa lagi?"

"Menghajar dajal."

"Salah! Kau harus menghajar diri sendiri dulu. Lalu apa lagi?"

"Tentu saja sembahyang."

"Sembahyang untuk siapa?"

"Tentu untuk Allah semata."

"Salah! Sembahyang adalah wujud cinta kita kepada-Nya. Sembahyang tak boleh kita jadikan upeti. Sembahyang bukanlah semacam jual-beli kita kepada-Nya."

Cahya Semunar kian terdiam. Meskipun demikian, dia tidak gentar berdebat dengan Bolonggrowong. Dia mengubah taktik. Dia meledek Bolonggrowong dengan bahasa sangat kasar.

"Menurutmu apakah kau manusia? Bukankah tubuhmu berlendir dan wajahmu tak beda dari raut anjing?"

"Aku tak keberatan dianggap sebagai anjing. Yang menentukan aku anjing atau siput tak lain Gusti Allah semata."

"Jangan sok bersandar kepada Allah. Siapa kau sebenarnya?"

"Namaku Bolonggrowong. Aku bukan siapa-siapa. Aku tiada tetapi selalu ada."

"Kau semacam Khidir?"

"Bukan. Aku hanyalah sesuatu yang tidak pernah diperhitungkan. Aku sesuatu yang bolong. Growong. Jangan sekali-kali memujiku. Aku mati jika dipuji. Jangan sekali-kali mencintaiku. Aku mati saat dicintai. Tetap saja anggap aku tak ada. Aku hanya ingin sekali-kali --mungkin bersama Khidir-- mengingatkanmu: hidup itu permainan masa kecil sebelum kau mati dalam dekapan maut yang memesona. Sekarang, kau tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun aku ini siapa."


6. BUKU-BUKU YANG BELUM KUBACA

Sebenarnya masih ada beberapa buku lagi yang dibakar. Mungkin ada 10 atau 11 buku. Di antara buku-buku itu ada yang belum kubaca, antara lain The End of Religion yang ditulis oleh Bruxy Cavey, The End of Faith: Religion, Terror, and The Future of Reason (Sam Harris), Masa Depan Tuhan, Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme (Karen Armstrong), Taksih Betah Agama Ageming Aji (Bagong Slamet Triyono), dan Semacam Gangguan Kecil pada Tawa Tuhan (manuskrip kumpulan cerita pengarang tak terkenal).


7. NOTA BENE: BUKU TERLARANG

Hanya satu. Judulnya: Rahasia Kematian Agama-Agama Baru, Rahasia Kebangkitan Agama-Agama lama.

Sekarang, silakan mencari pembakar buku-buku itu. Jika sudah ketemu, kontak aku, Gabriela Maruroh, di nomor 08164889612 atau gabriela@yahoo.com. ***


Semarang, 25 Januari 2015

Catatan:
1. Animal Farm adalah novel karya George Orwell.
2. Wali wudhar, paling tidak menurut Al Makin dar UIN Sunan Kalijaga, dipahami oleh para kiai istana sebagai nabi, bukan wali. Wali wudhar bisa berkomunikasi dengan alam gaib dan langit. Mereka mendapatkan wangsit, ilham, bisikan, tuntunan, dan wahyu untuk menyelamatkan tanah, iman, dan harga diri.

TRIYANTO TRIWIKROMO, peraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2009. Bukunya, antara lain, Surga Sungsang (Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014), dan kumpulan puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak