12 Juli 2015

Puisi-puisi Mustofa W. Hasyim

Cermin Retak Seribu

Pernahkah engkau merasa hari-hari
berubah menjadi cakrawala?
sunyi menancapkan tiang-tiang,
bendera membisu
jamur membusukkan percakapan
bisikan dan siul pergaulan.

Di rumah-rumah kampung dan desa
cermin diretakkan kecemasan
yang disembunyikan dalam tawa
dan canda cabul tak mengenal harga.

Benarah masih ada republik dan negara
ketika pasar bingung
menghanguskan impian
menghajar langkah-langkah bayi?

Ini sudah melewati masa tangis dan luka
mengharap pada lagu
pengembara waktu
melepaskan panah-panah bercahaya:
senyuman
2015


Cermin Lautan

mana yang lebih berarti, gelombang dan air
menguasai permukaan
ataukah pelabuhan, dermaga dan kapal
kecil nelayan?
garis batas tak terbaca
pelanggaran tak terasa

Dalam kisah lama disebutkan,
pelayaran jauh
untuk meneguhkan jiwa
bahasanya, jangkar-jangkar raksasa
ditancapkan pada kedalaman sunyi

Kadang muncul kegaduhan
laut menjadi wilayah perang
kapal dan pesawat bernafsu mesiu
saling menghadang dan menembakkan
kematian

Siapa kehabisan nyanyi?
Siapa kehabisan doa?
Ketika mesin bor menusuk wajah bumi
Di bawah air, tambang dan gas
dihisap ke angkasa

Peta penaklukkan selalu dibuat baru
disambut gembira, "Silakan Mister
kuasailah lautan kami."
Ruh-ruh yang terkubur di sana
menyalakan mata.
2015


Cermin Tubuh

Membaca usia wajah, rindu bergera bersama
malam. Nama-nama berbaris di bulu mata, panggilan sunyi
Senantiasa wangi embun dada, membuat
janji mencumbu. Gemetar, gugup, kurang
tuntas dalam menari.

Serpihan gelisah, berlayarlah kisah-kisah lama.
Tanpa pelabuhan,
berputar-putar pada yang samar

Hei, ini sejarah tubuh. Jangan kau lupakan hangatnya.
Kaki dan pelukan
Malam menghisap keringat, siang membuatnya banjir,
Bayang-bayang licin dari waktu.
Hasilkan nada, warna kulit,
menuju keript senja
Melahirkan kembali
Cinta.
2015


Bulan Mei

Apa kau kira langit tidak bisa mendidih kembali?
Hujan telah lewat dan sembunyi di balik musim
Kadang masih ada mendung, menghadang pengembara
Menyerah ke mana? Menyerah kepada siapa?
Rindu kebebasan belantara, dan hari meledak satu-satu lewat dinding kota.

Apa kau kira langit tidak bisa menghantam bumi?
Dengan gema dan gempa yang tidak terduga
Arah selalu disembunyikan oleh Tuhan
Agar yang suka menebak makin mabuk makna
lupa pada jejak semut yang rapuh di rerumputan terlindung doa semesta.
2015



MUSTOFA W. HASYIM, ketua Studio Pertunjukan Sastra Jogjakarta, kumpulan puisinya, antara lain, Pohon Tak Lagi Bertutur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak